Super Semar

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Super Semar
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Semar versi Pak Harto bukan Semar yang merusak kayangan. Sebaliknya Semar lebih memilih membangun kayangan. Salah satu episode wayang yang terkenal dan menjadi favorit Pak Harto adalah ‘’Semar Mbangun Kayangan’’.

Pak Harto mengambil banyak falsafah dari Ki Semar dan mengadopsinya menjadi filsafat politik. Salah satu yang sering dikutipnya adalah ‘’nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha’’, menyerbu tanpa membawa tentara, menang tanpa menghinakan, sakti tanpa senjata, dan kaya tanpa harta.

Sebagai realisasi ‘’Semar Mbangun Kayangan’’ Pak Harto menjadikan dirinya sebagai bapak pembangunan Indonesia dengan membangun banyak infrastruktur. Pak Harto juga membangun irigasi dan sarana pertanian sehingga Indonesia bisa mencapai swasembada pangan.

Pak Harto menerapkan falsafah ‘’mbangun kayangan’’ dan mengadopsinya menjadi filsafat ‘’developmentalism’’ atau pembangunanisme.

Titik balik karier politik Pak Harto terjadi pada 11 Maret 1966 ketika menerima surat perintah 11 Maret dari Presiden Bung Karno. Ketika itu Indonesia tengah dicekam krisis politik setelah pecahnya peristiwa 30 September yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuh jenderal tewas akibat penculikan yang didalangi PKI.

Indonesia berada dalam situasi kaos, kacau. Bung Karno yang terlibat dalam konflik politik dengan jenderal-jenderal Angkatan Darat berpaling kepada PKI untuk mencari keseimbangan politik. Ide Bung Karno untuk menggabungkan tiga kekuatan, nasionalis, komunis, dan agama, dalam Nasakom memunculkan penolakan dari berbagai kalangan.

Puncak ketegangan terjadi ketika Pasukan Cakrabirawa pimpinan Letkol Untung Samsoeri menculik tujuh jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965. Rangkaian penculikan itu diduga didalangi oleh PKI yang ingin melenyapkan para jenderal di bawah Jenderal Ahmad Yani yang sangat antikomunis.

Di tengah situasi yang guncang itu posisi Bung Karno menjadi terdesak. Posisi Bung Karno mirip the lame duck, bebek lumpuh, yang tidak mempunyai banyak opsi politik kecuali memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk melaksanakan operasi pemulihan.

Untuk mendapat legitimasi politik Pak Harto perlu tokoh idola Super Semar, yang memudahkannya untuk melakukan komunikasi politik kepada rakyat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News