Tabligh

Tabligh
Dahlan Iskan di pedalaman Pakistan, dekat Kashmir. Foto: disway.id

Pada jam itu barulah pintu di sebelah tempat imam terbuka. Seorang ulama masuk. Mengambil tongkat yang baru saja disiapkan petugas. Lalu duduk di kursi tempat khotbah. Tanpa mengucapkan asalamualaikum.

Setelah pengkhotbah duduk barulah seseorang di depannya berdiri. Azan. Suaranya tidak keras atau dikeras-keraskan.

Nadanya juga tidak dipanjang-panjangkan. Azan yang lugas. Total hanya satu menit.

Setelah azan khotbah pun dimulai. Dalam bahasa Arab. Hanya dua menit. Pengkhotbah duduk. Tidak ada suara apa pun. Lalu berdiri lagi. Khotbah kedua yang berisi doa. Tiga menit. Dengan demikian total khotbah itu hanya lima menit.

Ketika khotbah selesai, ternyata khotbah keras dari masjid sebelah juga baru selesai. Saya tersenyum dalam hati.

Saya perhatikan ikamah sebelum salat. Ternyata agak beda. Persis seperti azan. Hanya ditambah 'marilah salat'.

Begitu salat selesai banyak yang langsung berdiri. Tidak dzikir atau wirid. Saya perhatikan hanya saya yang pakai celana panjang. Dan kaus panjang. Dan tanpa jenggot.

Saya merasa jadi pusat perhatian. Tapi hanya satu orang yang bertanya: mengapa tidak berjenggot. Saya tidak bisa menjawab. Pertanyaan itu diajukan dalam bahasa Urdu. Tapi nada tanya dan gerak tangannya saya tahu maksudnya.

Begitu mendarat di Lahore saya harus mencari masjid. Untuk salat Jumat. Saya ingat beberapa teman saya yang anggota Jamaah Tabligh.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News