Terkenang Upi dan Artidjo

Terkenang Upi dan Artidjo
Terkenang Upi dan Artidjo

Misalkan, pers dibunuh, baik media cetak dan elektronik serta jaringan informasi melalui internet. Aduhai, betapa malangnya negeri ini. Pemerintah tidak tahu apa-apa tentang informasi di masyarakat. Kita tidak tahu perkembangan kurs rupiah atas valuta asing, bahkan informasi saham di Bursa Efek Jakarta menjadi "gelap" nian.

Janganlah lagi. Karena jika sampai malapetaka itu terjadi, terulang lagi, kita serasa ditelan oleh mimpi buruk tentang Indonesia era Orde Baru. Ironisnya, pers suka dibesar-besarkan sebagai "ratu dunia" serta dianggap sebagai "lembaga keempat" setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Kala pulang ke Medan dalam penerbangan Kamis petang, 10 September 2009, ucapan Artidjo Alkostar terngiang-ngiang di telingaku. "Perjuangan kebebasan pers adalah perjuangan yang kesepian," katanya.

Ah, tiba-tiba saya terbayang Upi. Mudah-mudahan Anda, kawanku, divonis bebas pada Senin 14 September 2009 ini. Hitung-hitung sebagai hadiah Lebaran untukmu, sehingga perjuangan kita bukanlah perjalanan yang sunyi. (*)

ENAM tahun saya tak bersua Agus Nur Amal. Alumnus IKJ itu masih tetap satir tapi menghibur. Petang itu, Rabu 9 September 2009, si penghikayat asal


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News