‘The Aceh Way’, Pilihan Soft Power Dalam Mengelola Konflik Aceh

‘The Aceh Way’, Pilihan Soft Power Dalam Mengelola Konflik Aceh
Velix Wanggai adalah Doktor Hubungan Internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta. Foto: Dokpri for JPNN.com

Ketika di era Presiden B.J Habibie, ia mencabut Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh pada7 Agustus 1998, dan ia meminta maaf terhadap rakyat Aceh. Bahkan, Habibie menetapkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dengan pendekatan kemanusiaan dan pluralisme, ia membuka pintu awal agar Pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), difasilitasi oleh Henry Dunant Center yang berkedudukan di Jenewa, Swiss.

Alhasil, dicapai dokumen Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh, atau yang dikenal sebagai Jeda Kemanusiaan, pada 12 Mei 2000. Namun, Jeda Kemanusiaan ditandai rasa tidak percaya di level bawah (Aspinal & Crouch, 2003).

Selanjutnya, Presiden Gus Dur mendorong terus sebuah jalan damai dengan draf UU Otonomi Khusus untuk Aceh hingga Juli 2001. Kemudian, di era Presiden Megawati Sukarnoputri melanjutkan proses pembahasan draf Aceh, dan akhirnya menetapkan UU No. 18/2001 perihal Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada 9 Agustus 2001.
Di akhir 2002 Pemerintah Indonesia yang diwakili Duta Besar S. Wiryono dan GAM diwakili Dr. Zaini Abdullah menandatangani Cessation of Hostilities Framework Agreement (CoHA), yang disaksikan Martin Griffiths dari Henry Dunant Center (HDC). Kerangka memuat langkah-langkah menuju perdamaian dalam beberapa tahap (Tornquist, 2010).

Komitmen awal dari Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik Aceh ini diawali dengan komitmen Pemerintah, dalam hal ini, Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang berpendapat konflik Aceh harus segera selesai.

Menurut Damien Kingsbury, "The election of Susilo Bambamg Yudhoyono as president in September 2004, and his commitment to finding a resolution to the Aceh conflict was a primary contributor to this return to talks" (2006: p. 15). Ketika pidato perdana tanggal 20 Oktober 2004 di Istana Merdeka, Presiden SBY menegaskan bahwa "Saudara-saudara kita di Aceh dan di Papua masih resah...Pemerintahan akan memberi perhatian khusus terhadap penanganan situasi konflik di Aceh dan Papua" (Setneg, 20/10/2004).

Ujian kembali melanda saudara-saudara kita di Aceh. Di tanggal 26 Desember 2004, tsunami terjadi yang menelan ratusan ribu korban jiwa, materiil, maupun psikologis. Peristiwa yang menyayat hati ini terasa memunculkan makna yang mendalam dari semua elemen bangsa, baik di pihak Pemerintah maupun di pihak saudara-saudara kita di Aceh dan tokoh-tokoh Aceh di luar negeri. Ada sebuah harapan bersama untuk duduk bersama, berbicara dari hati ke hati, dan berbagi aspirasi guna mencapai sebuah jalan damai tanpa kekerasan.

Proses Negosiasi: Take-and-Give

Oleh VELIX WANGGAI

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News