‘The Aceh Way’, Pilihan Soft Power Dalam Mengelola Konflik Aceh

‘The Aceh Way’, Pilihan Soft Power Dalam Mengelola Konflik Aceh
Velix Wanggai adalah Doktor Hubungan Internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta. Foto: Dokpri for JPNN.com

Sebelum Nota Kesepakatan antara Jakarta dan Aceh, atau yang disebut "Helsinki Agreement" ditandatangani pada 15 Agustus 2005 ini, ternyata meninggalkan cerita yang dinamis, tarik-menarik kepentingan dan misi, serta standing position yang berbeda sejak awal.

Helsinki Agreement ini dicapai setelah proses negosiasi dilakukan 5 kali putaran dialog, atau 5 Round dengan proses negosiasi yang dinamis, take and give, dalam konteks win-win outcome. Damien Kingsbury, penasehat GAM, seorang pakar dari Australia, dalam bukunya, Peace in Aceh, A Personal Account of the Helsinki Peace Process (2006), mengkisahkan dinamika negosiasi yang dinamis.

Ronde 1 dialog digelar pada 27 Januari 2005, dimana Indonesia dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Widodo AS, dengan anggota Hamid Awaluddin sebagai Ketua Negosiator, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, Deputi Menteri Kesejahteraan Sosial Farid Husein, dan beberapa anggota lainnya. Sementara itu, delegasi GAM dikomandani oleh Perdana Menteri the Government of the State Aceh/Acheh-Sumatera National Liberation Front (ASNLF) Malik Mahmud, Menteri Luar Negeri Dr Zaini Abdullah, juru bicara Bakhtiar Abdullah, dan staf politik Mohammad Nur Djuli dan Nurdin Abdul Rahman.

Dalam Ronde I ini, Pemerintah Indonesia berpegang teguh dengan tawaran "Special Autonomy for Aceh". Tawaran ini terlihat kurang diminati oleh GAM. Namun, dalam proses negosiasi pada tanggal 30 Januari 2005, pihak GAM keliatannya lebih menerima ide baru dengan bahasa "self-determination" dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Round Two, pada 21-23 Februari, tarik-menarik pandangan diseputar opsi "special autonomy" atau " self-government". GAM lebih memaknai tawaran special autonomy dengan sebuah proposal pemerintahan sendiri. Sesuai agenda Round Two yang dibuat fasilitator negosiasi, Presiden Ahtisaari, diangkat poin Special Autonomy (partai politik, pemilihan, sistem pendapatan Aceh, dan hak asasi manusia).

Sedangkan poin amnesty menyangkut amnesti, kompensasi ekonomi, penyiapan payung hukum perdamaian, dan dialog inklusif di internal masyarakat Aceh. Sedangkan, poin pengelolaan keamanan berbicara soal penyanderaan, level kehadiran TNI paska perjanjian, decommissioning senjata-senjata GAM, dan rekrutmen dan pelatihan polisi. Kesemua itu agenda yang disiapkan oleh Presiden Ahtisaari.

Menyikapi agenda yang dibuat dalam Round Two ini, ternyata GAM menyiapkan PLAN A dan PLAN B dalam konteks substansi Special Autonomy, Amnesty, Keamanan, dan Sistem Monitoring paska perjanjian damai.

Perdebatan substansi terus berlanjut dalam Round Three sejak 12 April 2005. Di tengah-tengah proses perundingan ini, ternyata tensi kekerasan pecah antara TNI/Polri dan GAM di Aceh. Namun, perundingan terus berjalan walaupun suara-suara dalam negeri di Jakarta yang tidak setuju dengan Pemerintah karena memilih jalan perundingan.

Oleh VELIX WANGGAI

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News