‘The Aceh Way’, Pilihan Soft Power Dalam Mengelola Konflik Aceh

‘The Aceh Way’, Pilihan Soft Power Dalam Mengelola Konflik Aceh
Velix Wanggai adalah Doktor Hubungan Internasional, Senior Researcher pada the Institute for Defense and Strategic Research (IDSR), Jakarta. Foto: Dokpri for JPNN.com

Proposal politik GAM mengalami kemajuan dengan mengajukan substansi di dalam memaknai self-governing of Atjeh, baik dalam konteks politik, imigrasi, luar negeri, pendapatan Aceh, pembangunan ekonomi, kompensasi ekonomi, dan keamanan.

Pada akhir Mei 2005 Round Four kembali digelar di Helsinki. Pemerintah Indonesia, khususnya Hamid Awaluddin dan Sofyan Djalil, membahas proposal yang diajukan GAM perihal makna self-governing of Aceh. Perundingan Putaran keempat ini mengalami kemajuan yang berarti dalam mensepakati item demi item, baik pandangan GAM dan Indonesia.

Pasca Round Four tersebut, ternyata Presiden Ahtisaari dan CMI pada 1 Juli 2005, telah membuat draf pertama Memorandum of Understanding (MOU) perjanjian perdamaian. Di awal MOU itu, baik Pemerintah Indonesia dan GAM memiliki komitmen untuk sebuah solusi yang berkelanjutan, komprehensif dan damai. Kedua pihak sepakat membangun kembali paska tsunami dan membangun rasa percaya antara kedua pihak.

Draft awal MOU ini kemudian menjadi agenda utama di Round Five, pada pertengahan Juli 2005. Negosiasi terus terjadi, take and give dalam mensepakati agenda-agenda perdamaian. Ada kalanya, pihak GAM kecewa dengan pandangan negosiator Indonesia. Sebaliknya, ada ketidaksetujuan Indonesia atas tawaran yang diminta GAM.

Awal Baru Transformasi Aceh

Dari proses negosiasi sejak Januari 2005 hingga awal Juli 2005, pihak GAM akhirnya memberikan apreasiasi kepada Pemerintah Indonesia yang menganggap bahwa ratifikasi draf MOU oleh Presiden SBY dianggap sebagai sebuah keinginan yang murni dalam mencapai solusi damai yang berkelanjutan terhadap konflik panjang di Aceh.

Sementara dalam politik dalam negeri di Jakarta terjadi silang pandangan terhadap kebijakan soft power dari Presiden SBY - Wakil Presiden JK. Ada beberapa partai politik yang tetap mengkritisi substansi dan proses perundingan dengan GAM.

Ketika perjanjian perdamaian ditandatangani di Helsinki, 15 Agustus 2005, peristiwa bersejarah ini mendapat positif dunia internasional, jutaan rakyat Indonesia, khususnya rakyat Aceh. Dalam sambutannya, Malik Mahmud menegaskan perjanjian perdamaian ini merupakan pintu awal untuk menghadirkan keadilan, kebebasan berdemokrasi dan perdamaian yang berkelanjutan.

Oleh VELIX WANGGAI

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News