Tingwe

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Tingwe
Tembakau kering yang menjadi bahan baku rokok. Foto/ilustrasi: Ara Antoni/JPNN.Com

Tingwe sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat perokok dalam waktu yang sangat lama. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan budaya itu dikenal. Namun, aktivitas tingwe diperkirakan sudah muncul sejak budaya rokok muncul di Nusantara berabad-abad yang lalu.

Tingwe adalah aktivitas melinting rajangan tembakau, menggunakan kertas, klobot, atau daun nipah, dengan campuran beberapa bahan lain seperti cengkeh. Lintingan itu kemudian dinikmati dengan cara dibakar dan diisap.

Ada juga budaya menginang untuk menikmati tembakau, dengan cara mengunyah bersama sirih dan kapur. Cara ini menjadi praktik luas di pedesaan Jawa dan juga menjadi budaya di Sumatra, Kalimantan, sampai ke Papua.

Cara menikmati tembakau secara tradisional ini pelan-pelan tergeser dengan munculnya produk rokok pabrikan yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda.

Rokok tingwe yang kurang praktis pelan-pelan mulai ditinggalkan. Budaya menginang juga mulai banyak ditinggalkan karena penjajah Belanda melakukan kampanye aktif agar masyarakat meninggalkan budaya menginang yang dianggap kotor.

Di mata penjajah, kebiasaan mengunyah sirih dan pinang dan tembakau meninggalkan kotoran menjijikkan, karena aktivitas mengunyah sirih, pinang dan tembakau itu meninggalkan jejak air liur berwarna kemerahan yang diludahkan di sembarang tempat.

Pabrik-pabrik rokok lokal mulai bermunculan di banyak tempat. Distribusi tembakau tak lagi sekadar tembakau rajangan. Para penikmat tembakau memiliki alternatif lain untuk menikmati tembakau.

Jika sebelumnya mesti melinting sendiri, sekarang bisa menikmati rokok kretek instan. Tinggal ambil dari kotak rokok, bakar, lantas isap.

Salah satu bentuk perlawanan yang muncul sekarang adalah lewat gerakan tingwe yang mulai gencar dilakukan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News