Toleransi di Australia, Biarawati tak Tanya soal Keyakinan

Toleransi di Australia, Biarawati tak Tanya soal Keyakinan
Para guru Indonesia berpose bersama Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop di salah satu ruang di dalam Sydney Opera House pada Minggu lalu (18/3). Foto: TIMOTHY TOBING/KEDUBES AUSTRALIA JAKARTA FOR JAWA POS

Ada 31 guru lain yang menjadi peserta program yang dipandegani Asia Education Foundation itu pada tahun ini.

Mereka terbagi menjadi dua cohort (kelompok). Yang pada Minggu lalu (18/3) mengikuti acara perpisahan di Opera House, Sydney, merupakan cohort 1. Terdiri atas 14 peserta. Adapun cohort 2 akan berlangsung pada Juni atau Juli mendatang.

Para guru yang mengikuti program yang berjalan sejak 2008 tersebut datang dari berbagai kota. Muslim dan nonmuslim. Mulai pengajar di tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.

Mereka terpilih melalui seleksi ketat yang melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah menjalani training selama sepekan di Melbourne, mereka disebar ke berbagai kota di berbagai negara bagian Australia.

Selama dua pekan para guru itu mengobservasi sistem belajar-mengajar di Negeri Kanguru tersebut. Sekaligus berkesempatan mengajar. Serta tinggal dan berbaur dengan warga di luar jam sekolah.

Dan, kepada Jawa Pos yang menemui mereka dalam acara perpisahan yang dihadiri Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop itu, semua sepakat dengan Khalif.

Penghormatan pada keberagaman jadi salah satu pengalaman paling berharga yang dipetik. Selain bagaimana sistem pendidikan di Australia memungkinkan para siswa jadi terlatih berpikir kritis.

Rabiatul Awaliyah, misalnya, mengenang bagaimana para guru di Beechworth Primary School, Victoria, tempatnya diposkan, selalu mengingatkan dirinya untuk salat.

Toleransi di Australia dirasakan belasan guru Indonesia yang berkesempatan mengajar di negara tetangga tersebut.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News