Toleransi di Australia, Biarawati tak Tanya soal Keyakinan

Toleransi di Australia, Biarawati tak Tanya soal Keyakinan
Para guru Indonesia berpose bersama Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop di salah satu ruang di dalam Sydney Opera House pada Minggu lalu (18/3). Foto: TIMOTHY TOBING/KEDUBES AUSTRALIA JAKARTA FOR JAWA POS

’’Itu setelah mereka tahu bahwa sebagai muslimah, saya wajib salat lima kali dalam sehari,’’ kata guru SD Ar Ridha Al Salaam, Depok, Jawa Barat, itu.

Tak pernah sekali pun dia mendapat pertanyaan bernada melecehkan. Baik terkait agama maupun negara tempat dia berasal. Termasuk dari para murid.

’’Ada guru yang bertanya, apa kalau saya ke Indonesia juga harus pakai jilbab? Itu semata-mata karena dia tidak tahu dan belum pernah ke Indonesia,’’ ungkapnya.

Kehadiran Rabiatul bahkan sampai menarik perhatian sebuah koran setempat, Ovens and Murray Advertiser.

Sambutan kedatangan perempuan 24 tahun itu diliput secara khusus dan pemuatannya disertai foto.

’’Seumur-umur baru kali itu saya masuk koran, hehehe,’’ katanya.

BRIDGE dalam nama resmi ditulis kapital untuk menekankan tujuan diadakannya program itu. Yakni, Building Relationships through Intercultural Dialogue and Growing Engagement (Membangun Kerja Sama Melalui Dialog Lintas Budaya dan Hubungan yang Terus Berkembang).

Dialog yang dimaksudkan di BRIDGE itu tentu saja termasuk di dalam kelas. Mega Dwiantari, peserta yang berasal dari sekolah yang sama dengan Khalif, misalnya, sempat mendongeng tentang beberapa kisah tradisional Indonesia. Di antaranya, Bawang Merah-Bawang Putih dan Jaka Tarub.

Toleransi di Australia dirasakan belasan guru Indonesia yang berkesempatan mengajar di negara tetangga tersebut.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News