Toleransi di Australia, Biarawati tak Tanya soal Keyakinan

Toleransi di Australia, Biarawati tak Tanya soal Keyakinan
Para guru Indonesia berpose bersama Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop di salah satu ruang di dalam Sydney Opera House pada Minggu lalu (18/3). Foto: TIMOTHY TOBING/KEDUBES AUSTRALIA JAKARTA FOR JAWA POS

’’Para murid juga sangat antusias mendengar dan bertanya. Di pelajaran apa pun, mereka selalu aktif bertanya,’’ ungkap guru SMP Progresif Bumi Shalawat yang juga ditempatkan di Merry College itu.

Ada murid di Urangan State High School, tempat Aidil Fitri ditempatkan, misalnya, yang bertanya, apa di Indonesia ada mobil?

’’Ada pula yang nanya, di Indonesia siswanya belajar pakai kursi nggak? Tentu nggak bermaksud apa-apa, murni karena tidak tahu,’’ kata Aidil, satu di antara tiga guru pria yang menjadi peserta di cohort 1 tahun ini.

Ketidaktahuan itu pun, lanjut guru di Ponpes Modern Darul Istiqamah, Barabai, Kalimantan Selatan, tersebut, bukan karena mereka tak pernah berkunjung ke Indonesia.

’’Kalau ditanya, siapa yang pernah ke Bali, mayoritas mengangkat tangan. Hanya, banyak di antara mereka yang nggak tahu bahwa Bali itu bagian dari Indonesia,’’ jelas Aidil.

Di titik itulah, Aidil, Khalif, Rabiatul, Mega, dan para peserta BRIDGE yang lain merasa betapa pentingnya dialog lintas budaya.

Demi kesalingpahaman. Banyak siswa di Australia yang mungkin tak tahu bahwa Bali merupakan bagian dari Indonesia.

Tapi, di sisi lain, bisa jadi tak banyak pula siswa Indonesia yang tahu Australia itu di mana. Atau, betapa minoritas bisa demikian dihargai di negeri tetangga tanah air mereka tersebut.

Toleransi di Australia dirasakan belasan guru Indonesia yang berkesempatan mengajar di negara tetangga tersebut.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News