Tradisi Merawat Mayat di Toraja, Baju Diganti, Kopi Ditaruh

Tradisi Merawat Mayat di Toraja, Baju Diganti, Kopi Ditaruh
Warga membersihkan jenazah saat ritual adat Ma'nene di Lo'komata, Lembang Tonga Riu, Kecamatan Sesean Suloara Toraja Utara,(12/9/2017). FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

Kain pertama serupa seprai, kemudian dibalut kembali dengan kain yang lebih tebal. Lapisan kain terakhir berwarna merah bendera lantas dibebat kuat dengan sobekan kain-kain putih panjang.

Meski dikatakan ritual, prosesi Ma’nene tak lantas berarti sarat unsur mistis. Setidaknya untuk saat ini. Prosesi yang mereka jalankan sekarang lebih banyak dipengaruhi ajaran Kristen.

”Karena 90 persen orang Toraja adalah Kristen, maka tradisi Ma’nene itu sendiri kemudian dikristenkan,” jelas Bumbungan.

Dia menuturkan, jika dulu Ma’nene ditandai dengan upacara di tanah lapang, kini pembukaan Ma’nene diawali dengan ibadah di gereja terdekat. Begitu pula halnya saat Ma’nene selesai, masyarakat akan menunaikan ibadah syukur sebagai penutup.

Pun, semua jenazah yang dimakamkan di dalam batu itu beragama Kristen. Bukannya yang lain tidak boleh.

Tetapi, menurut Bumbungan, memang tidak ada warga setempat yang beragama Islam yang mau memakamkan anggota keluarga dalam Lo’ko’ Mata.

”Karena menurut kepercayaan mereka, harus (dimakamkan) di tanah,” jelas pria yang bertempat tinggal di Rantepao tersebut.

Lalu mengapa dalam batu? ”Orang di sini percaya batu itu akan tetap di sana, untuk seterusnya,” jabar Bumbungan.

Dalam tradisi merawat mayat di Toraja, keluarga juga memasukkan barang atau makanan kesukaan mendiang semasa hidup, kebanyakan sirih dan kopi, ke dalam liang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News