Tumbang di Final PD ke-6

Catatan Arsito Hidayatullah, Jakarta

Tumbang di Final PD ke-6
LANGSUNG - Begini kira-kira mungkin pemandangannya kalau menonton langsung laga final Piala Dunia - jika anda adalah Presiden FIFA. Foto: Alexander Hassenstein/Getty Images/FIFA.com.
Eh, tapi kenapa sudah ada PD 1986, judulnya (sekarang) final ke-6? Ah, mungkin karena Mexico '86 sebenarnya belum 'masuk hitungan'. Karena barangkali, bagi saya yang saat itu masih kanak-kanak, piala dunia itu lebih dirasa sebagai hiburan dan main-main. Dan memang semestinya, bagi seorang anak-anak khususnya, sepakbola dan tayangannya tak lebih sebagai bagian dari sesuatu yang menyenangkan. Asyik dan seru saja jika dimainkan, menghibur - dan kadang bikin takjub - saat disaksikan. Jelas, tidak ada hubungannya dengan bursa taruhan, permusuhan, sampai urusan politik kepengurusan, apalagi kerusuhan - yang parahnya sekarang pun malah bisa terjadi di negeri ini walau Indonesia sendiri tak terlibat di Afsel sana.

To cut the story short, empat tahun tak terasa, lantas sudah datang saja PD 1990 (di Italia). Lalu empat tahun berikutnya PD 1994 (di AS), dilanjutkan PD 1998 (Prancis), PD 2002 (Korsel-Jepang), serta PD 2006 (di Jerman), sebelum akhirnya hadir yang tahun ini. Final PD 1990 meninggalkan bayang-bayang tendangan penalti Andreas Brehme untuk kemenangan Jerman, yang saya nikmati tengah malam pada masa liburan di rumah tua di desa terpencil nan indah di Simarasok (Sumbar) sana. Final 1994 saat mencari (kemungkinan) peluang kerja - antisipasi jika tak kuliah - di Batam. Lalu, final PD 1998 di masa-masa antiklimaks kegiatan demo aksi reformasi di Padang, final 2002 ketika sudah berstatus wartawan dan kebetulan tengah meliput di Pesta Danau Toba sendirian, serta final PD 2006 di Pekanbaru (sambil santai bersama rekan wartawan yang sama-sama terbiasa menulis bola).

Lantas sekarang, ternyata final PD 2010 yang sedari awal memang menarik karena ada hal-hal yang berbeda, harus berbeda juga bagi saya. Bukan, bukan lantaran akhirnya dapat tugas yang diimpi-impikan dan hadir langsung di Afsel sana di tengah atmosfir aslinya yang pasti luar biasa. Sesuatu yang sampai seumuran ini masih saja menjadi mimpi saya kendati sebenarnya ada 'celah' untuk mewujudkannya (sebagai wartawan) - entah kalau 2014 di Brazil kelak. Yang berbeda adalah karena untuk (tayangan) final ini saya sama sekali harus melewatkannya, lantaran terbaring ketiduran di kantor sendirian, gara-gara perut yang melilit mules, masuk angin sejak sejam sebelumnya.

Baru terbangun ketika stasiun TV sudah 'ribut' membahas gol tunggal Spanyol yang jadi penentu itu, saya hanya bisa 'menikmati' jalannya laga lewat laporan internet dan sesekali cuplikan di TV. Apes? Entahlah. Padahal di hampir seluruh pertandingan yang penting dan saya pilih ingin nikmati di sepanjang penyelengaraan PD kali ini, saya sukses bertahan bahkan sampai berita (laporannya) kelar. Padahal pula hampir semua tugas pemunculan headline utama (world cup) portal JPNN ini sedari hari pertama tak pernah gagal dieksekusi. Lalu kenapa di final malah tumbang? Ah, tapi saya bertekad, kalau memang umur panjang, dan 2014 dapat kesempatan entah bagaimana berada di Rio de Janeiro atau Sao Paolo, tak akan ada lagi yang namanya 'tumbang-tumbangan' begini kelak. Ingat, ini janji seorang pecinta bola! (ito/jpnn)
Berita Selanjutnya:
Topi Unik yang Bawa Hoki

MAAF. Tulisan yang satu ini bukan kabar dari Afrika Selatan (Afsel). Judul di atas juga bukan merujuk pada Belanda, karena tim Oranje sendiri baru


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News