Yakin Masih Ada Tsunami saat Malam, Pilih Tidur di Hutan

Yakin Masih Ada Tsunami saat Malam, Pilih Tidur di Hutan
Foto : Raka Deny/Jawa Pos
 

Setelah mendapat bantuan, mereka pun memilih mengungsi ke hutan dan berjalan menembus jalan setapak ke dusun tetangga, yakni Dusun Asahan. Untuk mencapai dusun tetangga itu, diperlukan waktu sedikitnya tiga jam menembus hutan. "Kami mengungsi ke sana karena jauh dari pantai. Banyak yang masih trauma," ungkap Zaskina, salah seorang warga.

 

Dia menceritakan, pascatsunami, warga sempat kelaparan. Mereka pun terpaksa bergantian mengambil air kelapa dan mengumpulkan sisa-sisa makanan yang terserak. Karena air tawar juga sulit didapatkan, bantuan berupa mi instan yang sempat dikirimkan lewat udara oleh militer pun sia-sia.

 

Tenda darurat didirikan tim perintis berdekatan dengan pantai. Akibatnya, warga menolak tinggal di sana. Warga memilih bermalam di gubuk-gubuk dan tempat pengungsian semipermanen yang didirikan di dataran tinggi di hutan. Ketika matahari tenggelam, mereka tampak panik dan berlarian kembali ke dalam hutan. Rendahnya pendidikan membuat para korban yang trauma mengira bahwa tsunami hanya terjadi saat malam. "Karena itulah, kami takut tidur di tenda. Sebab, saat malam, gelombang bisa datang," ujar salah seorang warga dengan raut muka serius.

 

Kini, mereka berangsur-angsur mendapatkan bantuan dari para relawan yang memberanikan diri menembus laut. Perjalanan ke lokasi bisa ditempuh lebih dari empat jam disertai ancaman badai serta ombak tinggi. Kendala lain adalah perubahan cuaca yang terjadi sangat cepat.

Gempa 7,2 skala Richter (SR) yang memicu tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin lalu (25/10), merupakan bencana dengan penanganan tersulit

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News