Curiga Ada Calo Tank Leopard

Curiga Ada Calo Tank Leopard
Tank Leopard. Foto: www.freerepublic.com
TNI di dalam bekerja di dalam melakukan gelar, di dalam menentukan anggaran, di dalam mengusulkan anggaran, menentukan pilihan alusista (Alat Utama Sistem Persenjataan),  itu semua harus tunduk pada otoritas sipil. Itu semua sebetulnya tidak boleh semaunya sendiri. Itu harus dilihat otoritas sipil itu siapa, yaitu Presiden bersama DPR.  DPR maunya apa, presiden maunya apa. Itu satu.

Yang kedua, untuk menentukan alutsista khususnya apakah namanya Leopard, atau namanya F-16 atau namanya apa, itu juga ditentukan dari persepsi kita tentang ancaman itu apa. Jadi tidak asal beli, asal senang, asal sama dengan negara tetangga, itu tidak boleh. Di luar pemahaman demokrasi itu namanya.

Yang menentukan itu semua harus otoritas sipil. Persepsi kita tentang ancaman adalah begini, begitu, begini, begitu, baru kemudian persepsi ancaman itu disepakati antara DPR dan pemerintah. Lalu kemudian baru setelah itu kebutuhan pertahanannya seperti apa, lalu alusistanya seperti apa. Begitu. Nah, apa yang terjadi sekarang? Sekarang ini yang terjadi adalah persepsi ancaman itu yang menentukan tetap TNI, kemudian dia menentukan ancamannya sendiri, dia menentukan alusistanya sendiri, akibatnya ini selain melanggar konstitusi, melanggar prinsip demokrasi, ini juga sekaligus akibatnya adalah pertahanan kita tidak kuat, parsial tidak komprehensif. Antara kesatuan-kesatuan yang lain, persenjataannya tidak terpadu. Jadi sendiri-sendiri.  Kemudian di dalam merencanakan membangun sistem pertahanan juga akhirnya parsial.


Anda kelihatan ngotot menolak?

Saya sering bergerak pada prinsip-prinsip. Kalau di Komisi,  saya banyak bergerak bukan pada yang teknis, tapi prinsip-prinsip seperti ini yang harus ditaati semua pihak, ditaati Kemhan (Kementerian Pertahanan), ditaati Tentara juga pemerintah dan DPR. Nah, contoh mau beli Leopard itu adalah contoh rill bahwa selama ini pengadaan alusista itu parsial. Bahwa selama ini pembangunan kekuatan pertahanan itu parsial, sendiri-sendiri. AD sendiri, AU sendiri AL sendiri. Jadi, tidak terintegrasi. Oleh karena itu, keinginan untuk membeli Leopard ini kita pertanyakan. Kecenderungan teman-teman di komisi,  mereka membeli Leopard ini tidak rasional. Terburu-buru, emosional, tidak dikoordinasikan dulu dengan Komisi I. Tidak didiskusikan dulu, mereka cepat-cepat kemudian membuat putusan sendiri, lalu lobby sendiri ke Belanda, kemudian ditolak parlemen Belanda, mereka malu sendiri karena parlemen tidak diajak bicara, akhirnya parlemennya juga menolak. Akhirnya Tentara AD terdesak, DPR di sini kurang mendukung DPR Belanda menolak. Kalau pemerintah sana ditolak sama DPR -nya, pemerintah sini ditolak sama DPR-nya, lalu uangnya dari mana? Itukan. Jadi dia sendiri yang rugi akibat dari tidak adanya komunikasi proses penjelasan secara rasional.


Apa karena tank bekas?

TANK Leopard belakangan melejit namanya. Rencana pemerintah membeli 100 unit Tank Leopard bekas dari Belanda, yakni 50 tank tipe 2A4 dan 50 tipe

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News