Defisit, Stop Ekspor Gas

Defisit, Stop Ekspor Gas
Defisit, Stop Ekspor Gas
JAKARTA - Pemerintah ditantang untuk berani menghentikan ekspor gas karena dinilai tak menguntungkan, bahkan sebaliknya lebih banyak merugikan negara sendiri. Pasalnya, pemenuhan kebutuhan gas untuk industri nasional terus saja defisit. "Buat apa ekspor kalau tidak menguntungkan dan hanya merugikan diri  sendiri. Lebih baik dipakai untuk kebutuhan domestik," ujar pengamat  migas A Qoyum Tjandranegara di Jakarta, Rabu (8/6).

Qoyum menilai, sangat tidak adil Indonesia sebagai produsen migas malah mengalami defisit gas. Hal ini, kata Qoyum bisa diadukan ke badan arbitrase internasional sebagai solusi karena saat ini para produsen di dalam negeri masih terikat kontrak jangka panjang untuk mengirim gas ke luar negeri.

Ia membeberkan, setiap tahun negara kehilangan devisa dari pengurangan net ekspor yang cukup besar, akibat mengekspor gas murah. Sebaliknya mengimpor bahan BBM lebih mahal. Menurutnya, pada 2006, Indonesia kehilangan devisa Rp 91,9 triliun. Bahkan kerugian devisa ini terus meningkat menjadi Rp 101,2 triliun (2007) dan Rp 140 triliun (2008). Belum lagi ditambah biaya operasi akibat penggunaan BBM yang mahal

itu.

Diuraikan, pada 2006 tambahan biaya operasi mencapai Rp 59 triliun. Biaya itu naik menjadi Rp 56,2 triliun (2006), Rp 56,2 triliun (2007), Rp 53,8 triliun dan Rp 73,4 triliun (2009). Dari data Kementerian Keuangan 2005-2011, biaya subsidi BBM terus membengkak setiap tahunnya.

JAKARTA - Pemerintah ditantang untuk berani menghentikan ekspor gas karena dinilai tak menguntungkan, bahkan sebaliknya lebih banyak merugikan negara

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News