Di Balik Industri Perkebunan Australia: Nasib Pekerja yang Menopang Sumber Pangan
"Mereka mengatakan kalau saya tetap pergi ke gereja di akhir pekan, mereka akan memulangkan saya," katanya.
Dengan bantuan serikat pekerja United Workers Union, Mike bisa menyelesaikan masalahnya dan terus bekerja sampai musim panen anggur berakhir.
Dia kemudian pindah ke perkebunan lain untuk memetik blueberry, namun lagi-lagi tidak mendapat upah yang cukup karena musim hujan membuat panen diundur.
"Saya tidak mengirimkan uang ke Vanuatu karena saya tidak memiliki uang," katanya.
Akhirnya dia didekati oleh seorang kontraktor pencari tenaga kerja gelap yang menjanjikan Mike akan mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus.
"Kontraktor itu mengatakan dia akan memberikan saya jam kerja lebih banyak, akomodasi bagus. Jadi saya memutuskan untuk pindah ke majikan lain," kata Mike.
Namun setibanya di sana, ia menerima upah secara tunai atau istilahnya 'cash hand', sekitar AU$300, atau lebih dari Rp3 juta, untuk bekerja selama enam hari, yang jauh dibawah upah minimum.
Ia juga harus tinggal bersama lima orang lainnya di sebuah rumah tanpa listrik.
Dewi, seorang pekerja di Australia mengatakan teman-temannya yang tak memiliki visa dan dokumen resmi takut dideportasi, jika melaporkan perlakuan buruk dari majikannya
- Dunia Hari Ini: Aktivis Thailand Meninggal Setelah Mogok Makan di Penjara
- Tanggapan Mahasiswa Asing Soal Rencana Australia Membatasi Jumlah Mereka
- Dunia Hari Ini: Empat Warga India Tewas Tertimpa Papan Reklame
- Bakamla RI Menjemput 18 Nelayan Indonesia di Australia, Lihat
- Peluang Tenaga Kerja Indonesia Profesional dan Terampil Terbuka Lebar Bekerja di Austria
- Dunia Hari Ini: Banjir Lahar Dingin Gunung Marapi, 37 Orang Tewas