Diorama Menjadi Drama

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Diorama Menjadi Drama
Ilustrasi - Monumen Pancasila Sakti. Ricardo/JPNN.com

Versi sejarah Orde Baru menegaskan peristiwa itu sebagai pemberontakan PKI. Versi lain menganggap peristiwa itu sebagai ledakan persaingan di internal TNI Angkatan Darat. Sampai sekarang dua versi masih tetap menjadi kontroversi dan perdebatan yang berkepanjangan.

Sejarah ditulis oleh pemenang. Soeharto sekarang tumbang, dan ada upaya untuk menulis ulang sejarah itu. Presiden Soekarno dianggap punya peran dalam kudeta itu.

Setidaknya, sikapnya yang simpatik terhadap PKI dianggap menjadi pendorong PKI untuk merebut kekuasaan melalui kudeta. Versi ini yang sekarang dicoba untuk ditulis ulang.

Pada saat-saat menjelang kudeta, persaingan politik Soekarno dengan TNI-AD sedang berada pada titik didih tertinggi. Jenderal-jenderal TNI-AD di bawah Ahmad Yani gerah oleh sikap Soekarno yang memberi angin besar kepada PKI, yang makin hari makin kuat.

Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus berkembang, ada dua kemungkinan yang akan terjadi, PKI akan mengambil alih kekuasaan melalui kudeta, atau PKI akan menjadi partai pemenang pemilu, dan mengambil alih kepemimpinan nasional melalui proses demokratis.

DN Aidit, pemimpin PKI, menyusun strategi dengan rapi dan sistematis. Jaringan-jaringan partai dibangun di dalam dan di luar negeri. Dalam memperjuangkan PKI, Aidit mengambil jalan strategi yang berbeda dengan gerakan komunis di negara lain.

Karl Marx mengajarkan bahwa ketika kapitalisme sudah matang maka akan terjadi revolusi kaum buruh proletar.

Revolusi itu menjadi puncak pertentangan kelas antara kaum borjuis penguasa alat produksi melawan buruh proletar. Revolusi proletar ini menciptakan masyarakat komunis, sama rasa sama rata, di bawah kediktatoran proletariat.

Konon diorama itu adalah simbol sejarah besar dari sebuah peristiwa besar, yang seharusnya memberi pelajaran besar.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News