Diorama Menjadi Drama

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Diorama Menjadi Drama
Ilustrasi - Monumen Pancasila Sakti. Ricardo/JPNN.com

Kalau saja tidak terjadi peristiwa 30 September, PKI diperkirakan bisa memenangi pemilu secara demokratis. PKI akan menjadi penguasa politik nasional tanpa melalui gerakan revolusi berdarah, seperti yang dilakukan Lenin maupun Mao.

PKI akan menjadi partai komunis dengan anggota terbesar di dunia. PKI akan menjadi satu-satunya partai komunis yang merebut kekuasaan melalui jalur pemilu demokratis.

Rusia menghasilan Leninisme, China melahirkan Maoisme, dan Indonesia bisa memunculkan Aiditisme.

TNI mencium gelagat itu. Lobi PKI yang sangat dekat dengan Soekarno membuat jenderal-jenderal TNI khawatir. Soekarno dianggap bergerak terlalu jauh dengan memperkenalkan konsep Nasakom, nasionalis, agama, dan komunis.

Tiga kekuatan itu menjadi kekuatan utama di Indonesia. Soekarno memaksakan supaya tiga kekuatan itu dipersatukan di bawah kepemimpinannya sebagai presiden seumur hidup.

Soekarno seorang pemikir yang sangat brilian. Namun, akhirnya dia terpeleset karena bereksperimen terlalu jauh. Menyatukan agama dengan komunisme adalah kemustahilan, seperti minyak dan air. Soekarno yang flamboyan berpikir bahwa dengan kekuatan karismanya ia bisa menyatukan minyak dan air.

PKI makin membubung tinggi karena mendapat angin dari Soekarno. Ganjalan paling besar yang dihadapi PKI adalah para jenderal di bawah kepemipinan Ahmad Yani. Ganjalan ini harus disingkirkan. Gerakan 30 September adalah upaya untuk menyingkirkan ganjalan itu.

Soeharto melihat gerakan 30 September sebagai pintu masuk yang memberinya legitimasi untuk menghancurkan PKI.

Konon diorama itu adalah simbol sejarah besar dari sebuah peristiwa besar, yang seharusnya memberi pelajaran besar.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News