Garuda di Dadaku, Malaysia di Perutku

Garuda di Dadaku, Malaysia di Perutku
Yusrizal, salah seorang anggota rombongan petualangan Bupati Jarot Winarno ke pedalaman Sintang, tengah melihat tanaman Lada di Desa Nanga Bayan, Kecamatan Ketungau Hulu, Kamis (25/5). Foto: ACHMAD MUNANDAR/Rakyat Kalbar

Bayangkan saja, dari Nanga Bayan ke Nanga Seran, kala itu, butuh waktu dua hari dua malam. Padahal, jarak Nanga Bayan–Nanga Seran kurang lebih 40 kilometer saja.

Menurut Gito, hasil pertanian warga setempat lebih dihargai di Malaysia dibanding di Negara sendiri. Jika harga lada hitam dijual di ibukota Kabupaten Sintang hanya bekisar Rp30.000 per kilonya, di Malaysia dihargai Rp45.000.

Begitu juga dengan lada putih. Kalau menjualnya di Sintang cuma dihargai Rp80.000 per kilonya, penampung lada Malaysia mau mengambilnya di level Rp102.000.

Makanya, Gito menyebut, yang ada di dalam perut masyarakat Nanga Bayan adalah Malaysia. Hanya di dada (hati) saja masih punya Garuda Indonesia.

“Ibaratkan, Garuda di dadaku, Malaysia di perutku. Inilah kondisi riil masyarakat perbatasan Sintang,” ungkapnya.

Yang namanya berdagang, pasti ada timbal baliknya. Selain menjual hasil tani ke Malaysia, masyarakat Nanga Bayan juga membeli kebutuhan sehari-hari di sana.

Ironisnya, sampai pupuk pun diperoleh dari Malaysia. Pupuk yang digunakan untuk bertani lada di sana bermerk ‘Jembatan’. Harganya lebih murah.

Kalau pemerintah Indonesia menyediakan pupuk bersubsidi jenis Mutiara, NPK, Urea, dan Ponskha, yang per karungnya berkisar Rp600.000, ‘Jembatan’ bisa didapat dengan rentang harga Rp450.000–Rp500.000.

Masyarakat yang tinggal di Desa Nanga Bayan, Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sudah lama terpinggirkan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News