Hergun Gerindra Kuliti Perppu Corona Jokowi, Singgung Skandal BLBI dan Century

Hergun Gerindra Kuliti Perppu Corona Jokowi, Singgung Skandal BLBI dan Century
Kapoksi Gerindra Badan Legislasi DRP RI Heri Gunawan. Foto: Istimewa

Adapun kebijakan “stabilitas sistem keuangan” yang dimaksud dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3), yaitu meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Artinya, kata Hergun, Perppu ini bisa digunakan untuk krisis perbankan, baik bank sistemik maupun bank-non-sistmik, dan lembaga keuangan non-bank.

Sementara itu, terkait pemberlakuan ketentuan penanganan krisis untuk “bank bukan bank sistemik” (Pasal 17), Perppu menyatakan bahwa Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) tidak berlaku lagi.

"Pelebaran lembaga keuangan yang ditangani berdasar Perppu ini perlu diwaspadai. Mengingat sejak kuartal akhir 2019 Indonesia dihadapkan pada krisis perasuransian yang tengah dilanda masalah gagal bayar, seperti Jiwasraya, AJB Bumiputera, dan Asabri, serta krisis bank non-sistemik seperti Bank Muamalat," kata ketua DPP Gerindra itu.

Kewaspadaan itu juga dilatari oleh pendekatan penyelamatan lembaga keuangan yang berbeda dengan yang diatur dalam UU PPKSK dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. UU PPKSK mendorong penanganan krisis perbankan sistemik dengan pendekatan bail in, yakni menggunakan sumber daya bank bersangkutan yang berasal dari pemegang saham dan kreditur bank. Lalu hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank, serta konstribusi industri perbankan.

Sedangkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 melegitamasi pengambilan kebijakan jalan pintas untuk penanganan krisis keuangan, seperti pemberian fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk oleh Menteri Keuangan (Pasal 9 huruf b), atau penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan oleh Pemerintah melalui BUMN untuk para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya (Pasal 11).

Kucuran langsung uang negara juga terlihat dari kewenangan tambahan yang diberikan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 kepada Bank Indonesia (BI), yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b-f. Selain pinjaman likuiditas khusus untuk bank sistemik (huruf b), kewenangan-kewenangan tambahan dalam huruf c hingga f itu mendorong BI bermain langsung di pasar, dengan membeli surat berharga negara, memberi pinjaman kepada LPS, hingga pinjaman kepada korporasi/swasta yang mempunyai repo surat berharga negara.

"Belajar dari kasus BLBI, betapa sulitnya mengambil kembali pinjaman BI kepada bank-bank swasta tersebut. Di mana nilai uang yang kembali sudah jauh di bawah nilai pinjaman yang diberikan. Potensi kerugian negara akan sangat besar," sambung wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini.

Adapun terkait rencana pemerintah dalam Perppu untuk menaikkan defisit APBN menjadi 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2020-2022, dengan ketentuan pelebaran itu terus turun hingga menjadi 3% pada tahun 2023, dan jumlah pinjaman yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut dibatasi maksimal 60% dari PDB.

"Pelebaran defisit APBN sebesar 5% dari PDB untuk tahun 2020-2022, dapat diterima. Namun besaran pinjaman hingga 60% dari PDB perlu dikritisi, karena mendorong pemerintah jor-joran berutang ke donor luar negeri, seperti IMF dan Bank Dunia, yang kerap mengintervensi kebijakan nasional," tegas Anggota Badan Pengkajian MPR-RI tersebut.

Heri Gunawan Gerindra menguliti Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara yang diterbitkan dalam rangka penanganan wabah virus corona.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News