Kapitalisme Sepak Bola

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Kapitalisme Sepak Bola
Seorang warga memegang kaus bergambarkan striker Argentina Lionel Messi dan frase yang berarti "Apa yang kau lihat, bodoh?" di suatu toko di Buenos Aires, Argentina. (12/12/2022) Foto: AFP/LUIS ROBAYO

Ronaldo telah redup, sedangkan Neymar pulang setelah Brasil tersingkir. Tinggallah Messi satu-satunya yang tersisa sebagai ikon.

Messi adalah La Pulga, Si Kutu, sang ikon, paduan antara realitas dan mitos. Ia kutu kecil yang menjadi dewa sepak bola dengan skill super-human.

Tidak ada manusia di planet yang punya kemampuan alamiah seperti Messi. Ia datang dari planet lain. Ia adi-manusia, melampaui manusia.

Messi adalah Si Kutu, karena ketika masih kecil memiliki kelainan hormon sehingga tidak bisa tumbuh besar seperti anak-anak lainnya. Oleh karena itu, kakak Messi, Rodrigo, memanggilnya dengan sebutan La Pulga.

Bagi anak-anak kecil, sebutan Si Kutu bisa bermakna bullying atau perundungan. Mungkin mirip dengan pemain Indonesia Kurniawan Dwi Julianto yang dijuluki Si Kurus, atau mantan pemain Arema Arif Suyono yang lebih dikenal sebagai "Keceng" karena badannya yang tipis.

Bagi Messi jukukan itu menjadi berkah. Dia memang Si Kutu yang membuat gatal semua pemain lawan.

Ia Si Kutu yang sulit dideteksi dan gerakannya tidak bisa dilihat karena kecepatan dan ketajamannya. Si Kutu selalu menjadi problem bagi setiap lawannya.

La Pulga menundukkan jagat sepak bola internasional. Tinggi tubuhnya tidak lebih dari 170 sentimeter, kecil untuk ukuran Amerika dan Eropa.

Banyak kejanggalan yang menguntungkan Argentina. Messi menjadi kandidat top scorer dengan lima gol, empat di antaranya melalui penalti.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News