Ketika Ketua DPRD Tewas di Medan

Ketika Ketua DPRD Tewas di Medan
Ketika Ketua DPRD Tewas di Medan
Demokrasi juga tercederai di sebuah masyarakat yang masih tega membunuh seekor ular yang melintas di perkampungan. Dalam memori kolektif kita, ular dibayangkan berbahaya, karena itu harus dibunuh. Padahal, ular itu melintas perkampungan justru karena habitat mereka di hutan telah dikuasai oleh perkebunan sawit, pemukiman transmigrasi atau perusahaan HPH.

Tragisnya ketika sang ular hijrah mencari tempat lain, ia malah dibunuh masyarakat desa. Padahal, ia tidak menggangu. “Tak ada tempat buat kita, sayangku,” tulis seekor penyair ular, bak menirukan WH Auden tentang rekannya yang mati dibantai dengan cara barbar itu.

Tiba-tiba saya ingat suatu malam tahun 2007 silam saat perayaan 25 tahun Departemen Kehutanan. Penyair Mustofa Bisri membacakan sajak berjudul “Istigozah.” Mustofa berseru betapa sekumpulan hewan yang tersisa karena habitat mereka telah dihancurkan manusia berdoa dan memohon kepada Tuhan agar manusia diganti sebagai khalifah di muka bumi.

Keberbedaan antara manusia, pohon dan hewan semestinya saling melengkapi, bukan memusnahkan. Keberbedaan pun terapresiasi dalam demokrasi. Kami di sini dan Anda di sana membuat ruang terisi dan harmoni. Jika Anda tak ada, kami iseng sendiri karena tak ada lawan berdiskusi. Mirip main catur yang butuh lawan, bukan musuh, karena tak mungkin main catur sendirian.

DEMOKRASI bisa cedera di sebuah masyarakat yang tak menghormati hak hidup pepohonan. Mahluk Tuhan yang tumbuh di perkampungan itu telah menjadi elemen

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News