Keuntungan Besar Melayang, Kerja Sama Terhambat

Keuntungan Besar Melayang, Kerja Sama Terhambat
Keuntungan Besar Melayang, Kerja Sama Terhambat
"Revolusi yang kini bergulir di Timur Tengah itu merupakan puncak dari kekecewaan rakyat terhadap kemiskinan atau kemunduran ekonomi dalam negeri serta tidak berfungsinya lembaga-lembaga negara," tegas Ali Kadri, mantan kepala divisi analisis ekonomi PBB di Timur Tengah. Dalam kondisi tersebut, tutur dia, masyarakat pekerja dan kelas menengah ke bawah lah yang paling menderita. Karena itu, wajar jika kelompok tersebut yang paling santer menyerukan perubahan.

Pada 1971-2000 pertumbuhan ekonomi rata-rata di dunia Arab menunjukkan catatan negatif. Misalnya, pendapatan nasional per kapita negara-negara Teluk saat itu hanya berkisar 2,8 persen per tahun. Namun, secara kasat mata negara-negara penghasil minyak itu terlihat mentereng. Para pejabatnya kaya raya. Bangunan mewah pun menghiasi ibu kota dan kota-kota besar di wilayah mereka. Sayang, kemakmuran itu tidak merata dan hanya dinikmati segelintir orang.

"Ini disebabkan kebiasaan rezim penguasa di Timur Tengah tak punya pemahaman yang baik tentang demokrasi. Mereka cenderung memperkaya diri sendiri dan tidak peduli pada kebutuhan rakyat," ungkap Kadri.

Fenomena itu pula yang terjadi di Mesir dalam tiga tahun terakhir. Didukung militer, Mubarak menerapkan kebijakan yang membuat para petinggi angkatan bersenjata makin memuja dia. Betapa tidak, Mubarak mengizinkan para jenderal terjun ke dunia bisnis.

TUNIS - Mohamed Bouazizi mungkin tidak pernah menduga aksi bakar dirinya di jalan Kota Sidi Bouzid, Tunisia, bakal memicu revolusi berkepanjangan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News