Kisah Guru Garis Depan, Berharap dapat Jodoh agar Betah

Kisah Guru Garis Depan, Berharap dapat Jodoh agar Betah
Petrus Purumbawa dan Pabera Tanambewa, dua guru GGD asal Nusa Tenggara Timur. Foto: Mesya Mohammad/JPNN.com

jpnn.com - Menjadi Guru Garis Depan (GGD) dipilih sebagai jalan bagi sebagian alumni program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T), agar bisa diangkat menjadi PNS.

Mesya Mohammad – Jakarta

SUASANA Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Selasa (12/9) pagi sangat ramai. Ramai dengan bapak ibu guru muda yang berpakaian putih hitam. Mereka berasal dari beragam suku, agama, dan RAS.

Hari itu adalah momen penting mereka karena akan diberangkatkan ke tempat tugas masing-masing. Yakni ke daerah yang sebagian tidak ada jaringan listrik, komunikasi, dan sulit dijangkau.

Adalah Petrus Purumbawa dan Pabera Tanambewa, dua guru asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ikut dilepas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy bertugas ke wilayah 3T.

Petrus bertugas di SMPN Satap Patamawai, Kabupaten Sumba Timur. Sedangkan Pabera SMPN Satap Praimahala, Kabupaten Sumba Tengah.

Keduanya baru saja lulus dari program SM3T dan langsung diangkat CPNS. Mereka lebih beruntung dibanding kawan-kawannya yang lain harus menunggu beberapa tahun baru diangkat CPNS lantaran adanya kebijakan moratorium.

Tahun 2016, Kemendikbud merekrut 7.000 GGD, tapi yang dinyatakan lolos hanya 6.296 orang. Dari jumlah itu yang sudah mengantongi SK CPNS sebanyak 5.987 orang.

Baik Petrus maupun Pabera punya alasan berbeda mau menjadi GGD di wilayah terpencil.

Para guru garis depan (GGD) ini sudah berstatus PNS dan langsung dikirim ke daerah-daerah yang minim fasilitas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News