Kisah Guru Garis Depan, Berharap dapat Jodoh agar Betah

Kisah Guru Garis Depan, Berharap dapat Jodoh agar Betah
Petrus Purumbawa dan Pabera Tanambewa, dua guru GGD asal Nusa Tenggara Timur. Foto: Mesya Mohammad/JPNN.com

Di usia mereka yang baru 24 tahun, harus berhadapan dengan minimnya fasilitas di tempat pengabdian.

"Saya sebenarnya tinggal di kota. Kenapa saya pilih Patamawai karena pengin tahu bagaimana anak-anak di sana mendapatkan pendidikan," kata Petrus yang dikontrak 15 tahun oleh Pemkab Sumba Timur.

Keseriusannya mengabdi di wilayah 3T dibuktikan dengan melakukan survei. Di wilayah tempat tugasnya, penerangan hanya memakai lampu pijar.

Ada juga yang menggunakan lampu emergency dengan sumber energi matahari. Saat siang, masyarakatnya mengisi batre lampu dengan energi panas matahati.

Yang sulit bila musim hujan, sehingga warga menggunakan lampu pijar dan lampu tempel. Untuk akses komunikasi, Petrus mengatakan, harus naik ke atas bukit yang jaraknya beberapa kilo dari rumah warga.

Itu sebabnya, Petrus berencana untuk berkomunikasi dengan orangtuanya sepekan sekali. Kesulitan lain yang bakal dihadapi Petrus adalah mendapatkan air bersih.

"Air di Patamawai sangat sulit. Harus berjalan lima kilo untuk mendapatkan air bersih, jadi tiap hari bawa jerigen menampung air," terangnya.

Tidak sampai di situ, untuk menuju lokasi sekolah, Petrus bakal menggunakan truck kayu. Truck ini tidak hanya menampung manusia tapi juga hewan peliharaan seperti kambing, ayam, dan sapi.

Para guru garis depan (GGD) ini sudah berstatus PNS dan langsung dikirim ke daerah-daerah yang minim fasilitas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News