KPK di Persimpangan Jalan, Antara Politis dan Hukum

Oleh: Petrus Selestinus

KPK di Persimpangan Jalan, Antara Politis dan Hukum
Petrus Selestinus. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Selama tiga bulan terakhir sejak September hingga Desember 2019, beberapa peristiwa menarik terkait KPK, susul-menyusul terjadi. Peristiwa dimaksud adalah: 1). Seleksi Capim KPK untuk menggantikan pimpinan KPK Agus Rahardjo dkk yang akan segera berakhir dan terpilihnya pimpinan baru KPK Firli Bahuri dkk; 2). Disahkannya UU KPK hasil revisi; dan 3). Peluncuran 3 jilid buku tulisan OC. Kaligis dengan judul "KPK Bukan Malaikat" pada tanggal 7 Desember 2019 di LP Sukamiskin, Bandung. 

Peristiwa-peristiwa di atas tidak berdiri sendiri tetapi memiliki hubungan yang erat dengan permasalahan kinerja KPK, apalagi terjadi dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, sejak September hingga Desember 2019, sehingga kondisi yang terjadi dan menyertai atau yang akan terjadi nanti menempatkan KPK di persimpangan jalan, antara Politis dan Hukum yaitu, menghadapi tuntutan Uji Materil di MK dan Perppu melalui Presiden.

Buku OC. Kaligis dengan judul "KPK Bukan Malaikat", yang diluncurkan pada tanggal 7 Desember 2019 kemarin, bukan sekedar mengungkap sejumlah fakta pelanggaran yang dilakukan oleh KPK dalam tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tipikor, melainkan dimaksudkan juga untuk mengajak KPK dan kita semua yang berkepentingan dengan eksistensi KPK, agar memperbaiki kedigdayaan KPK agar tetap taat asas dan bermartabat.

Audit Forensik Langkah Tepat Jawab Pertanyaan Publik

Untuk itu, maka kinerja KPK pada periode yang lalu perlu diaudit forensik, sebagai wujud pertanggungjawaban KPK kepada publik dan sekaligus menjawab keraguan publik atas tujuan revisi UU KPK di tengah pro dan kontra revisi serta tuntutan sebagian anggota masyarakat kepada Presiden untuk menerbitkan Perppu guna membatalkan revisi UU KPK.

Buku "KPK Bukan Malaikat", mengangkat isu tentang perilaku "tidak taat asas dan pelanggaran hukum" yang dilakukan oleh Pimpinan KPK periode 2004 hingga pimpinan KPK era 2015-2019, membongkar praktik pelanggaran hukum dalam penanganan kasus korupsi antara lain, perkara H. Abdullah Pute dkk., Jero Wacik, Surya Dharma Ali, Irman Gusman dkk, juga testimoni, termasuk testimoni dari Brigjen. Pol. Aris Budiman, mantan Direktur Penyidikan KPK tahun 2018.

Sumber penulisan buku KPK Bukan Malaikat berpijak pada fakta-fakta empiris, hasil Pansus Hak Angket DPR RI, putusan Pengadilan Pidana Korupsi berkekuatan hukum tetap dan testimoni para Napi Korupsi, telah mengungkap praktik penegakan hukum yang menyimpang dan terus-menerus terjadi tetapi ditutup-tutupi oleh KPK. Karena itu, Audit Forensik merupakan metode yang tepat untuk menjawab keraguan publik terhadap revisi UU KPK.

Urgensi dari Audit Forensik kinerja KPK adalah karena Revisi UU KPK masih mendapatkan perlawanan secara hukum dan politik dari Masyarakat dan dari KPK sendiri melalui Judicial Review (JR) ke MK dan Perppu. Padahal revisi UU KPK merupakan koreksi total terhadap kinerja KPK yang tidak taat asas selama bertahun-tahun seperti ditulis dalam buku "KPK Bukan Malaikat".

Firli Buhari, Dkk Harus Bangun Budaya Hormat Kepada Saksi

Salah satu kewajiban dasar seorang Penyelengara Negara adalah "wajib menjadi Saksi dalam perkara pidana KKN dan perkara lainnya". Demikian amanat Pasal 5 huruf b UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN. Karena itulah maka UU mewajibkan KPK memberikan perlindungan kepada Saksi yang hendak memberikan keterangan.

Perlindungan terhadap Saksi dimaksudkan adalah agar ketika Saksi hendak memberikan kesaksian, seorang Saksi harus dalam keadaan bebas dari rasa takut, bebas dari tekanan dan intimidasi, terutama intimidasi dari Penegak Hukum dan karena itu UU mewajibkan Penegak Hukum harus menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi seorang Saksi. Keterangan Saksi merupakan salah satu alat bukti sangat vital dalam pemberantasan korupsi, karena itu posisi Saksi menjadi sangat penting.

Dalam praktik Peradilan, kewajiban perlindungan terhaddap Saksi diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, terkahir dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Bahkan seorang Saksi dalam keadaan tertentu "tidak wajib" memenuhi panggilan, karena alasan "Kesehatan" atau menjalankan "Tugas Negara" atau karena menjalankan "Ibadah Agama", maka kewajiban untuk menjadi Saksi ditunda.

KPK Mendiskreditkan Saksi

KPK dapat dinilai telah melakukan Pelanggaran Hukum yaitu tidak memberikan perlindungan terhadap Saksi, dengan sikap mengintimidasi Saksi. Salah satu contoh adalah sikap KPK terhadap Saksi Melchias M. Mekeng. Sesuai ketentuan Pasal 15 UU KPK jo. pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP yaitu melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, meskipun KPK tahu bahwa Melchias M. Mekeng sedang melaksanakan Tugas Negara di luar negeri, tetapi terus-menerus memanggil untuk menciptakan posisi offside demi memudahkan untuk dikriminalisasi dengan tindak pidana baru yaitu menghalangi penyidikan.

Sikap Penyidik KPK yang demikian, merupakan tindakan yang tidak patut, bahkan bertentangn dengan ketentuan pasal 15 UU KPK jo. pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP yaitu kewajiban melakukan "tindakan lain" menurut hukum yang bertanggung jawab. Yaitu tidak bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan, harus patut dan masuk akal, atas pertimbangan yang layak dan menghormati hak asasi.

KPK Bersikap Arogan

Konsekuensi yuridis dari "tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab" adalah KPK tidak boleh mempublish pernyataan-pernyataan dengan narasi yang tidak etis, arogan apalagi mengancam akan melakukan pencarian keberadaan Saksi yang sedang menjalankan tugas negara di luar negeri, atau Sakit atau menjalankan ibadah agama. 

KPK seharusnya bersikap menunda pemanggilan terhadap Saksi yang sedang berhalangan karena sedang menjalankan tugas negara, atau karena sakit atau karena sedang menjalankan ibadah agama, sebagai wujud dari sikap "melindungi" atau oleh KUHAP disebut "tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab" yaitu tindakan yang tidak melanggar hukum, selaras dengan kewajiban hukum, patut, masuk akal dan layak serta menghormati HAM".

KPK Merusak Budaya Hukum

Pemanggilan KPK terhadap beberapa Saksi secara beruntun, tanpa mengindahkan bukti Surat Tugas Perjalanan Dinas, tanpa mengindahkan Surat Sakit atau tanpa mengindahkan bukti menjalankan ibadah agama, memperlihatkan betapa KPK bersikap sangat tendensius, arogan, tidak profesional, politis bahkan politicking sehingga tampak bahwa KPK sesungguhnya tidak sedang melakukan penegakan hukum, melainkan menjadi PR bagi kepentingan pihak ketiga di balik sikap KPK yang arogan.

Febri Diansyah, sering mengeluarkan pernyataan pers dengan narasi yang mendramatisasi menyerang kehormatan Saksi: "Akan mencari keberadaan Saksi di luar negeri dan menjemput paksa, sementara fakta tentang Tugas Negara, Sakit atau sedang menjalankan ibadah agama yang seharusnya menjadi halangan yuridis bagi KPK untuk memanggil, ditutup-tutupi oleh KPK demi menciptakan posisi offside bagi Saksi-saksi tertentu.” 

KPK terus-menerus mempublish informasi ketidakhadiran Saksi yang berhalangan hadir, seakan-akan sebagai aib besar bagi Pemberantasan Korupsi. Padahal sikap KPK demikian bertentangan dengan azas profesionalitas, proporsionalitas dan HAM yang wajib dijunjung tinggi, tetapi oleh Febri Diansyah malah diabaikan demi mencederai hak-hak Saksi. Ini merusak budaya hukum dan tidak mendidik dari aspek pendidikan politik.

Penulis adalah Petrus Selestinus, Mantan Komisioner KPKPN dan Advokat Peradi

Selama tiga bulan terakhir sejak September hingga Desember 2019, beberapa peristiwa menarik terkait KPK, susul-menyusul terjadi.


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News