Larang Unjuk Rasa saat Pelantikan Presiden, Diskresi Polisi Ancam Demokrasi

Larang Unjuk Rasa saat Pelantikan Presiden, Diskresi Polisi Ancam Demokrasi
Mahasiswa UI saat demo mahasiswa di sekitar gedung DPR, Senayan, Selasa (24/9). Foto: Soetomo Samsu/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Muncul usulan dilakukan revisi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atas langkah Korps Bhayangkara yang melarang aksi unjuk rasa jelang dan saat hari pelantikan presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024.

Usulan disampaikan pengamat kepolisian Bambang Rukminto. Menurutnya, polisi memakai diskresinya dengan melarang adanya aksi demonstrasi, yang berarti bertentangan dengan aturan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.

Namun, kata dia, memang polisi berhak menggunakan diskresi tersebut karena tertuang di dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

"Secara yuridis, polisi berhak dan punya kewenangan untuk melakukan diskresi," ucap Bambang, Jumat (18/10).

Hanya saja, kata dia, diskresi itu lekat dengan sisi subyektivitas kepolisian. Terlebih lagi, kata dia, tidak terdapat pertanggungjawaban setelah polisi menggunakan diskresi.

"Problemnya juga tak ada pengawasan yang ketat terkait pertanggungjawaban terkait diskresi. Akibatnya dengan kata lain, polisi bisa suka atau tak suka dalam menerbitkan diskresi," ucap dia.

Sebab itu, dia berharap UU Kepolisian direvisi. Menurut dia, diskresi yang dimiliki kepolisian berpotensi besar mengancam demokrasi di Indonesia.

"Iya, tanpa kontrol yang ketat, polisi akan jadi alat yang mengancam demokrasi dan rakyat sendiri," ucap dia. (mg10/jpnn)

olisi memakai diskresinya dengan melarang adanya aksi demonstrasi, yang berarti bertentangan dengan aturan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan


Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News