LPSK: Hentikan Praktik Anak yang Dilacurkan

LPSK: Hentikan Praktik Anak yang Dilacurkan
Ilustrasi tindak kekerasan terhadap anak. Foto: Dokumen JPNN.com

"Di mana pada awalnya mereka dijanjikan bekerja sebagai pramusaji cafe/restoran, pemandu lagu karaoke, penjaga toko dan lainnya dengan janji penghasilan yang memadai."

Dia menjelaskan, pada kenyataannya mereka dieksploitasi pada saat bekerja. Saat menjadi AYLA, anak-anak itu dipekerjakan 10 jam per hari, bahkan hingga 16 jam per hari.

Dalam satu hari mereka bisa melayani 10 tamu, dijanjikan penghasilan 1 juta hingga 20 juta per bulannya atau 250 ribu hingga 2 juta per tamunya.

“Namun jauh panggang dari api, di antara mereka bahkan tidak mendapatkan upah sama sekali. Bahkan Mereka juga dipaksa untuk meminum pil KB atau obat kontrasepsi sehingga dapat dieksploitasi secara terus menerus tanpa terhalang siklus menstruasi,” tandasnya.

Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mengatakan, bahwa AYLA sebetulnya telah menjadi keprihatinan dunia internasional.

Pada 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak (pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Asasi Anak).

Indonesia, kata Livia, telah meratifikasi konvensi tersebut pada 1990. International Labour Organization (ILO) pada 1999 menelurkan konvensi mengenai, Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Konvensi itu juga telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2000, yang kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

LPSK membuat rekomendasi sebagai upaya perlindungan anak, mengingat ada sekitar 79 juta anak Indonesia yang membutuhkan perlindungan khusus.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News