Mari Mas
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Tolonglah, please. Siapa tahu mobil di depan saya –atau di belakang saya– ada yang sempat berhenti dan memotretnya. Ternyata benar-benar ada kejadian seperti itu.
Malamnya, usai seminar, sebenarnya saya melewati kawasan itu lagi, tetapi di jalur timur. Jauh. Dan lagi sudah pukul 22.15. Gelap gulita. Hujan pula. Pukul 01.30 saya baru tiba kembali di Surabaya.
Belum sebulan lalu saya bertemu Pak Harjanto itu. Di Kelenteng Gudo –satu kota kecamatan di luar kota Jombang. Yakni untuk sama-sama bicara soal kerukunan suku dan ras.
Pak Harjanto sangat mengagumi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia sampai menuliskan nama Gus Dur di papan doa. Yakni di altar rumah perkumpulan Tionghoa Boen Hian Tong Semarang. Rumah Literasi.
Harjanto sendiri sampai dikecam sebagian orang Tionghoa. Bukan soal pencantuman nama Gus Dur di jejeran nama-nama leluhur mereka, tetapi karena Harjanto sampai mengubah sesajen di altar itu.
Menurut kepercayaan Tionghoa, di altar seperti itu wajib disajikan tiga macam makanan: Samseng. Tiga daging dari binatang bernyawa. Yakni daging ikan (air), daging ayam (udara), dan daging babi (darat).
Namun, karena ada nama Gus Dur di situ, daging babi ia ganti daging kambing. Itu dianggap melanggar adat Tionghoa yang berat.
Akan tetapi Harjanto bergeming. Lalu ada usul kompromi: disediakan saja dua meja di altar itu. Satu meja untuk sesajen yang seharusnya. Satu meja lagi sesajen untuk Gus Dur.
Harjanto langsung punya ide: di hari cengbeng depan ia akan mengadakan tur ke makam Gus Dur.
- Wartawan Tempo Jadi Sasaran Represif Polisi Saat May Day di Semarang
- Tarif Trans Semarang Rp 0, Pelajar dan Mahasiswa Tinggal Naik
- BRT Gratis & Akses Sekolah untuk Semua Jadi Kado HUT ke-478 Kota Semarang
- Inikah Provokator yang Ditangkap Polisi saat Demo Hari Buruh?
- Dokter Konsumen
- Polisi Amankan Provokator dalam Aksi Hari Buruh, Apa Motifnya?