Nasionalisme Sayur Salju

Nasionalisme Sayur Salju
Dahlan Iskan.

jpnn.com - Sudah tidak terlihat lagi salju. Puncak musim dingin baru saja lewat. Saya naik kereta cepat dari kota Qingdao ke Tianjin. Kawasan timur Tiongkok. Selama 4 jam.

Di sepanjang perjalanan terlihat bangunan green house. Sambung-menyambung. Tidak henti-hentinya.

Saya diskusikan itu. Lautan green house itu. Dengan teman seperjalanan saya. Yang dulu juga amat miskin.

Apakah bangunan itu kuat menahan salju? Tidak roboh? Atap plastiknya tidak robek-robek? Apakah waktu dia kecil lahan pertaniannya juga seperti itu? Dan banyak pertanyaan lagi. Sambung-menyambung. Sampai tiba di Tianjin. Masuk rumah sakit di situ.

Teman saya pun bercerita. Robert Lai, yang di sebelah saya, ikut menikmati jawabnya.

Robert lahir di Hong Kong. Besar di Singapura. Tidak pernah bersentuhan dengan lahan pertanian.

Di musim salju, kata teman Tiongkok saya itu, adalah musim penderitaan. Dulu. Tiap hari hanya makan kentang. Tidak ada orang jual sayur. Tidak ada petani yang menanam sayur. Semua wilayah tertutup salju.

Sebelum musim salju tiba memang diusahakan beli sayur banyak-banyak. Tapi hanya ada satu jenis sayur yang bisa disimpan selama tiga bulan: kubis panjang.

Ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan perang dagangnya, Tiongkok bergeming. Hari itu juga Tiongkol membalas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News