Sabar untuk Sulitnya Menerima Kekalahan

Sabar untuk Sulitnya Menerima Kekalahan
Sabar untuk Sulitnya Menerima Kekalahan

Yang masih tinggal di Amerika pun tak semuanya bisa menerima kekalahan itu. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang menempuh cara sendiri-sendiri. Banyak sekali organisasi yang didirikan dengan rasa sentimen itu. Termasuk yang paling keras adalah Ku Klux Klan.

Ketika Kota Columbia terbakar habis pada akhir perang sipil tersebut, ada juga yang mengaitkan itu sebagai langkah bumi hangus dari tentara selatan yang harus mundur dari Columbia.

Di antara yang kecewa itu, ada satu orang yang mengambil jalan sendiri. Lima hari setelah penyerahan diri Jenderal Lee, dia datang ke gedung teater di Washington, membawa pistol, menyelinap ke balkon dan….dor! Menembak Presiden Abraham Lincoln yang baru dilantik kembali untuk masa jabatan kedua.

Malam itu Lincoln memang lagi nonton. Penjaganya lagi keluar balkon untuk ambil kopi. Dalam satu minggu itu, dua peristiwa besar terjadi: kemenangan dan kekalahan Lincoln. Padahal, keesokan harinya, rencananya Lincoln menerima anaknya, tentara, yang baru datang dari Appomattox.

Sang anak ikut menyaksikan pertemuan antara Jenderal Grant, panglima perang tentara pusat, dan Jenderal Lee, yang diakhiri dengan penyerahan diri itu. Lincoln ingin mendengar jalan cerita penyerahan diri tersebut.

Begitu mahal harga sebuah konstitusi.   

Konstitusi itu dibuat di Philadelphia dengan proses yang juga sangat sulit. Dan sangat panjang: 12 tahun. Saat berkunjung ke gedung tempat bersidangnya para pendiri USA itu, saya membayangkan siapa duduk di kursi sebelah mana dan membicarakan apa. Saya juga membayangkan George Washington duduk di kursi ketua sidang di depan sana itu.

Saya membayangkan betapa sabarnya para pendiri negara itu. Itulah pelajaran berdemokrasi berikutnya yang saya peroleh. Membangun demokrasi memerlukan kesabaran. Juga memerlukan toleransi. Seperti juga kita, saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, USA belum punya undang-undang dasar atau konstitusi.

SAYA harus di New York tanggal 29-30 Mei lalu. Imam Shamsi Ali minta saya berbicara di forum Islam di Indonesia. Tempatnya di gedung PBB, New York.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News