Siboen Halilintar

Siboen Halilintar
Dahlan Iskan. Foto: disway.id

Siswanto lulus terbaik di angkatannya. Ia juga lulus terbaik di antara rombongan 33 orang dari desanya. Tidak sulit Siswanto mengalahkan rombongan awalnya itu: dari 33 orang tersebut hanya tiga yang jadi ikut pelatihan.

Yang 30 lainnya ditarik pulang oleh orang tua mereka. Penyebabnya satu: balai pelatihan itu ternyata bagian dari panti rehabilitasi anak nakal dan sakit jiwa.

Sebagai lulusan terbaik Siswanto mendapat hadiah konkret: peralatan lengkap untuk mendirikan bengkel sepeda motor di desanya.

Namun, Siswanto pesimistis bisa jalan. Dia pilih menerima tawaran merantau ke Jogja.

Dia pilih bekerja di bengkel milik teman guru pelatihannya. Prestasi Siswanto membuat gurunya menghubungi si teman. Bahkan sang guru menampung Siswanto di rumahnya –sebelum Siswanto dapat penghasilan.

Di bengkel di Jogja. Itulah pekerjaan pertamanya. Dengan gaji Rp 4.000/hari. "Saya dibayar harian karena tidak punya KTP," ujar Siswanto.

Peralatan hadiah dari Kemensos sendiri lantas dikelola desa. Namun, hanya sebentar: tidak bisa jalan.

Dua tahun di Jogja, Siswanto pulang kampung: dirikan bengkel sendiri. Laris. Banyak uang. Lalu hidupnya ngawur. Itu yang ia akui sendiri.

Siswanto meroket seperti meteor. Desa itu heboh. Banyumas heboh. Indonesia heboh.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News