Sidang Kasus BLBI: Ahli Sebut Penghapusbukuan Bukan Kerugian

Sidang Kasus BLBI: Ahli Sebut Penghapusbukuan Bukan Kerugian
Mantan Kepala BPPN Syafruddin A Temenggung dan penasihat hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Foto: Fedrik Tarigan/Jawa Pos

"Jadi bagi BPPN, ukuran kinerja yang terpenting adalah bagaimana dia bisa sehatkan perbankan. Kedua, adalah recovery rate, mereka tidak diukur untung rugi di situ karena ini bukan lembaga yang mencari untung dan tidak bisa rugi," ujarnya.

Sigit juga menceritakan bahwa kondisi NPL saat itu juga sangat berbahaya karena sudah mencapai 30 persen. "NPL juga sangat tinggi secara nasional lebih 30%. Maksimum (NPL) 5% untuk bank sehat. Ini dua indikator saja semua bank di Indonesia tidak ada yang sehat, itulah situasi perbankan pada saat itu," ujarnya.

Karena tingginya kurs dolar yakni dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.000 lebih, maka tidak mungkin nasabah atau siapapun mampu membayar utang yang langsung menggelembung. "Pasti tidak bisa ditagih karena dolar naik, maka itu yakin tidak bisa ditagih," katanya.

Seperti diketahui, SAT disidangkan dengan dakwaan telah menyebabkan kerugian kepada negara sebesar Rp 4,58 ketika dia sebagai Ketua BPPN. Kerugian ini disebabkan SAT telah mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada 2004 kepada Sjamsul Nursalim, mantan pemegang saham pengendali Bank BDNI.

Padahal, menurut KPK, SN belum berhak menerima SKL karena persoalan kredit bank kepada 11.000 petambak udang yang menjadi plasma perusahaan PT Dipasena Citra Darmaja belum diselesaikan. Pemberian SKL ini telah membuat pemerintah kehilangan hak tagih.

Kredit tersebut disalurkan pada saat sebelum krisis ekonomi 1997-1998 dalam bentuk valas senilai US$ 390 juta atau setara Rp 1,3 triliun pada kurs saat itu.

Ketika kurs rupiah anjlok pada saat krisis, nilai utang petambak tersebut membengkak menjadi Rp 4,8 triliun sehingga mereka kesulitan untuk membayar sehingga kredit menjadi macet.

Senada, Yusril Ihza Mahendra, salah satu kuasa hukum terdakwa SAT menegaskan bahwa sesuai keterangan saksi ahli, bahwa belum terjadi kerugian negara.
"Ketika diserahkan utang itu dalam bentuk hak tagih, itu yang ada baru potensial loss. Jadi potensi rugi negara, belum terjadi kerugian," ujarnya.

Sedangkan kapan kerugian itu terjadi, lanjut Yusril, sesuai keterangan ahli, bahwa saat aset itu dijual oleh PT PPA kepada pihak lain dari semula hak tagihnya Rp 4,8 trilyun, dijual hanya sebesar Rp 220 milyar.

"Dalam hal ini hak tagihnya Rp 4,8 trilyun dijual Rp 220 milyar maka kerugian negaranya menjadi Rp 4,58 trilyun. Jadi, dari pertanggungjawaban perbankan itu tanggung jawab siapa, itu tanggung jawab yang menjual. Jadi sebenarnya tidak ada kesalahan yang harus dibebankan kepada Syafruddin," ujarnya.

Bersaksi di sidang kasus BLBI, bankir senior yang juga mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono menegaskan bahwa penghapusbukuan bukan bentuk kerugian

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News