Tanjidor, Sampah dan Menara Gading

Tanjidor, Sampah dan Menara Gading
Tanjidor, Sampah dan Menara Gading
MENIMBANG-NIMBANG duet JK-Win (Jusuf Kalla-Wiranto), saya terkenang Engkong Said, pemain tanjidor Betawi di Jalan Sagu, Jakarta Selatan. Kesan yang tak hilang, si tua ini sedih karena anak-anak muda tak lagi doyan tanjidor. "Maunya dangdutan atau musik pop," katanya.

Padahal irama tanjidor yang bertumbuh sejak masa VOC, kompeni dagang Belanda di akhir abad ke-16, sangat meriah. Tanjidor sangat wals pepeko alias tempo mars. Kala tanjidor bergema, terdengar melengking-lengking menandingi saxophone yang sesekali tiba-tiba tinggi sekali, diselai trombone yang bisa merendah parau, khas musik jazz.

Tanjidor kerap dipanggil untuk acara hajatan sunatan, kawinan atau mengarak penganten. Mengundang tanjidor harus membayar Rp 5 juta, malah bisa Rp 10 juta jika lengkap dengan gambang kromong. Dahulu, tanjidor bemain dari kampung ke kampung hingga ke luar daerah, dan baru pulang sesudah sebulan pertunjukan keliling.

Musik tanjidor yang meramu pengaruh musik India dengan wayang kulitnya, Cina dengan gambang kromongnya, Konghayn, Tehayan, Skong dan tanjidor dari Eropa, hingga unsur Arab dengan unsur rebananya, Melayu dengan sabra-nya, maupun Portugis dengan Kroncong-nya, terdengar bagaikan orkestra. Musik akulturatif yang campur-aduk ini bisa digabung dengan dangdutan.

MENIMBANG-NIMBANG duet JK-Win (Jusuf Kalla-Wiranto), saya terkenang Engkong Said, pemain tanjidor Betawi di Jalan Sagu, Jakarta Selatan. Kesan yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News