UU Ketenagakerjaan Dinilai Tidak Jelas

UU Ketenagakerjaan Dinilai Tidak Jelas
UU Ketenagakerjaan Dinilai Tidak Jelas
JAKARTA- Guru Besar Tetap Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Anna Erliyana, menilai Mahkamah Konstitusi harus memberikan penafsiran yang pasti dan berkekuatan hukum terhadap pemberlakuan Pasal 155 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Sehingga para pekerja memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan hak-hak mereka dalam terjadinya perselisihan hubungan industrial mengenai perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja (PHK), " kata Anna  saat memberikan keterangan ahli dalam sidang pengujian UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Kamis (4/8).

Menurut Anna, dalam praktek ada tiga penafsiran yang berkembang yakni upah proses hanya diberikan selama enam bulan, upah proses hanya diberikan sampai tahap pengadilan hubungan industrial tahap pertama, dan upah proses sampai putusan hukum berkekuatan hukum tetap (in cracht van gewijsde).

Dikatakan Anna, pada ayat 2 jika dikaitkan dengan ayat berikutnya, yakni ayat 3 yang berbunyi, pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 berupa tindakan skorsing pekerja atau buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja atau buruh, sehingga bila pasal tersebut dikaitkan dengan pasal 56 UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan industrial maka upah proses seharusnya dibayarkan sampai putusan pengadilan in kracht van gewijsde.

JAKARTA- Guru Besar Tetap Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Anna Erliyana, menilai Mahkamah Konstitusi harus memberikan penafsiran

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News