Alex Noerdin, Hasan Aminuddin, dan Saiful Ilah

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Alex Noerdin, Hasan Aminuddin, dan Saiful Ilah
Alex Noerdin. Foto: Ricardo/JPNN.com

Orang-orang kuat itu menjalani tradisi ini selama puluhan tahun. Hal ini sudah menjadi habitus yang terinternalisasi secara otomatis, dan tidak terasa sebagai sebuah kejahatan.

Karena tradisi ini sudah menjadi kebiasaan di lingkungan itu, maka setiap orang mengikutinya sebagai sebuah prosedur yang wajar, tidak terasa ada yang janggal.

Ibarat orang masuk kakus. Awalnya mungkin dia mencium bau tidak sedap. Dia akan melakukan adaptasi. Kalau dia tidak tahan dia akan keluar dari kakus.

Kalau dia tahan dia akan beradaptasi dengan bau kakus itu. Bau busuk itu lama kelamaan tidak dia rasakan, dan malah dia cium sebagai bau yang sedap. Setelah itu dia pun ikut mengeluarkan bau busuk dan dia menikmatinya.

Korupsi yang sudah berlangsung secara sistematis selama puluhan itu sama dengan ‘’teori kakus’’ itu. Orang yang tidak tahan akan keluar, tetapi yang tahan akan tetap tinggal di dalam dan akhirnya ikut menikmati bau khas kakus itu.

Karena itu ketika seorang kepala daerah tertangkap basah oleh KPK, mereka menyangkal keras tuduhan korupsi itu. Kasus yang terjadi kepada mantan bupati Sidoarjo Saiful Ilah, mungkin bisa menjadi ilustrasi yang menarik.

Ia ditangkap oleh petugas KPK yang mendatanginya di rumah dinas menjelang dini hari. Ada banyak tamu di situ, salah satunya membawa tas bingkisan berisi segepok uang.

Petugas KPK menangkap Saiful beserta barang bukti itu. Saiful menyangkal keras bahwa ia menerima sogokan. Ia tidak merasa menerima uang itu, dan ia malah tidak tahu ada orang yang malam itu membawa uang gepokan untuknya.

Ada kesamaan Alex Noerdin, Hasan Aminuddin, dan Saiful Ilah. Apa itu? Ini kata Cak Abror.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News