Anthony Budiawan: Korupsi Ekspor CPO dan Minyak Goreng Tidak Manusiawi

Anthony Budiawan: Korupsi Ekspor CPO dan Minyak Goreng Tidak Manusiawi
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan (kanan) saat pernyataan sikap bersama Front Nasional Pancasila di Jakarta beberapa waktu lalu. Foto: FNP

jpnn.com, JAKARTA - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan merespons keberhasilan Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap dan menetapkan empat orang tersangka kasus korupsi terkait ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, minyak goreng, pada 19 April 2022.

Empat orang tersangka tersebut terdiri dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana dan pejabat dari tiga korporasi, masing-masing Master Parulian Tumanggor (MPT) selaku komisaris utama PT Wilmar Nabati Utama, Stanley MA (SMA) selaku Senior Manager Corporate Affair PT Permata Hijau Group, dan Picare Togare Sitanggang (PT) selaku General Manager bagian General Affair PT Musim Mas.

Peraturan ekspor CPO ini juga terindikasi melanggar peraturan kewajiban penyediaan bahan baku dalam negeri dengan harga tertentu, yang dikenal dengan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation) yang masing-masing ditetapkan sebesar 20 persen dari jumlah ekspor dengan harga Rp 9.300 per kg.

Menurut Anthony Budiawan yang juga anggota Front Nasional Pancasila (FNP) ini, dampak korupsi pelanggaran ekspor ini mempunyai daya rusak sangat serius bagi kehidupan rakyat Indonesia.

Dia menyebut minyak goreng tiba-tiba menjadi langka, meneror kehidupan masyarakat hampir di seluruh Indonesia. Terjadi antrean panjang, pembelian dijatah hanya boleh 2 liter per penduduk, dan harus melampirkan KTP dan KK.

“Antrean panjang memerlukan waktu berjam-jam hanya untuk bisa membeli dua liter minyak goreng. Bahkan menurut kabar ada dua orang meninggal dunia akibat antrean yang sangat melelahkan,” kata Anthony, Sabtu (23/4/2022).

Untuk mengatasi tragedi minyak goreng akibat korupsi ekspor tersebut, pemerintah malah mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat luas. Pemerintah membatalkan DMO dan DPO, dan menetapkan harga minyak goreng kemasan mengikuti harga pasar.

Harga kemudian melonjak dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebelumnya ditetapkan Rp 14.000 per liter menjadi sekitar Rp 24.000 hingga Rp 28.000 per liter.

Anthony Budiawan mengatakan dampak korupsi pelanggaran ekspor ini mempunyai daya rusak sangat serius bagi kehidupan rakyat Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News