Arsul Berkukuh Pasal Penghinaan Presiden Diperlukan, meski Sudah Dibatalkan MK, Begini Alasannya

Arsul Berkukuh Pasal Penghinaan Presiden Diperlukan, meski Sudah Dibatalkan MK, Begini Alasannya
Dokumentasi - Wakil Ketua MPR Arsul Sani (kanan) tiba di kediaman Presiden Ke-5 RI Megawati, di Jakarta. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.

"Negara yang menggeser dengan melakukan dekriminalisasi dari pendekatan pidana ke perdata hanya Prancis di tahun 2013."

"Lalu Jerman di 2017 melakukan dekriminalisasi kepada kepala negara lain, namun untuk kepala negara sendiri masih mempertahankan finalisasi 3 bulan sampai 5 tahun," papar-nya.

Karena itu, Arsul kembali menegaskan pentingnya pasal terkait penghinaan presiden-wapres dalam RKUHP perlu dipertahankan.

Namun, tantangan-nya adalah bagaimana agar tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Putusan MK tersebut telah membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang dapat menyasar kasus-kasus penghinaan presiden.

Karena itu menurut dia, DPR Periode 2014-2019 telah mengusulkan tiga hal agar aturan tersebut tidak bertentangan dengan Putusan MK.

Yaitu, sifat delik-nya diubah menjadi aduan. Kemudian, diberikan pengecualian pada ayat berikutnya yang bukan merupakan penyerangan seperti dalam rangka kritik dan pembelaan diri.

"Ketiga agar menghindarkan potensi kesewenang-wenangan penegak hukum, maka di pidananya harus diturunkan menjadi di bawah 5 tahun, agar Polri tidak bisa langsung menangkap. Itu dalam rangka merespons kekhawatiran masyarakat, perlu ada penjelasan Pasal 218 dan 219 RKUHP," ujarnya.

Arsul berkukuh pasal penghinaan terhadap presiden tetap diperlukan meski sebelumnya telah dibatalkan MK, begini alasannya.

Sumber ANTARA

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News