Harapan setelah 'Pesta Pora Demokrasi'

Oleh: A. Mustofa Bisri*

Harapan setelah 'Pesta Pora Demokrasi'
Harapan setelah 'Pesta Pora Demokrasi'

jpnn.com - SEJAK reformasi, kita sudah mengalami beberapa kali pemilihan umum (pemilu). Mulai pemilu kepala daerah (pilkada), pemilu legislatif (pileg), hingga pemilu presiden-wakil presiden (pilpres). Alhamdulillah, selama ini pemilu-pemilu itu relatif berjalan tertib, aman, dan damai. Sehingga konon membuat negara-negara lain, termasuk yang sudah mapan demokrasinya, berdecak kagum.

Tapi, pilpres kali ini sungguh luar biasa. Saya kira belum pernah ada gawe nasional yang menyedot energi bangsa sebegitu dahsyat seperti pilpres kali ini. Pilpresnya sendiri yang dilaksanakan pada 9 Juli 2014, seperti pemilihan-pemilihan yang lalu, berjalan lancar, tertib, aman, dan damai. Namun, sebelum dan sesudah itu bukan main.

Sejak masing-masing calon melakukan penjajakan dan pendekatan terhadap pasangannya hingga pencalonan ditetapkan KPU, suasana politik benar-benar merupakan ”pesta demokrasi” yang luar biasa gegap gempitanya. ”Pesta pora demokrasi” yang dahsyat kali ini melibatkan hampir seluruh elemen dan lapisan masyarakat dari berbagai etnis dan agama. Melibatkan semua kalangan mulai yang paling elite hingga yang paling awam. Mulai politisi yang paham politik hingga politikus yang baru belajar politik. Bahkan termasuk mereka yang selama ini mencitrakan diri sebagai yang ”antipolitik”.

Melibatkan petinggi-petinggi negeri, jenderal-jenderal, para akademisi, para budayawan, artis-artis, para cendekiawan, hingga para ustad dan kiai. Semuanya bergelora dengan antusiasme berkobar-kobar mirip semangat jihad melawan penjajah. Tak ketinggalan pers dan socmed ikut menghebohkan suasana.

Kenyataannya, pada waktu pelaksanaan pilpres 9 Juli lalu, partisipasi masyarakat pun luar biasa. Persentase pemilih naik dari pemilu-pemilu sebelumnya. Antusiasme dan gairah masyarakat yang sedemikian besar, dari satu sisi, dapat diartikan sebagai kesadaran dan kepedulian terhadap tanah air serta masa depan bangsa dan negara.

Para pendukung dan jurkam masing-masing capres-cawapres boleh mengklaim ini sebagai buah jerih payah mereka. Para kiai dan ustad boleh merasa ini sebagai salah satu hasil ”fatwa” tentang wajibnya nasbul imaamah yang selama ini mereka kumandangkan. Orang boleh merasa optimistis bahwa kesadaran berdemokrasi sudah meningkat.

Namun, dari sisi lain, saya melihat ”semangat” yang sejak awal dikobarkan melebihi takaran itu lebih dipicu fanatisme pendukungan. Sikap berlebihan dari semua pihak, terutama pendukung dan relawan, menunjukkan hal itu. Sikap berlebihan yang sudah sampai menghilangkan nalar sehat dan menghalalkan segala cara. Para petinggi yang selama ini selalu mengagung-agungkan nilai-nilai luhur seperti Pancasila dan Sapta Marga pun banyak yang seolah-olah lupa akan sila-silanya.

Para kiai dan ustad yang selama ini mendakwahkan agar berpegang teguh kepada Alquran dan sunah Rasulullah SAW pun banyak yang seperti kehilangan ayat-ayat dan hadis-hadisnya. Kita semua seperti terkena wabah ”demam pilpres” hingga mengabaikan nilai-nilai mulia yang selama ini kita pegang teguh. Bahkan, kesucian Ramadan pun seperti tak sanggup mengekang nafsu fanatisme dan meredakan ”demam” tersebut. Kubu-kubu pun saling berhadapan tidak hanya di antara kalangan partai politik, tapi juga di berbagai kalangan, termasuk di kalangan kiai. Astagfirullah.

SEJAK reformasi, kita sudah mengalami beberapa kali pemilihan umum (pemilu). Mulai pemilu kepala daerah (pilkada), pemilu legislatif (pileg), hingga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News