Jin Buang Anak

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jin Buang Anak
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Ketika seseorang disebut berumah di daerah gung liwang liwung, tidak ada makna konotatif yang menghina. Tidak ada makna pejoratif yang dianggap merendahkan. Idiom-idiom itu adalah aksesoris yang menjadi hiasan komunikasi untuk mengekspresikan kedekatan dan keakraban.

Sama dengan orang Surabaya, masyarakat Betawi juga punya idiom-idiom yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Karakter masyarakat Surabaya dan Betawi punya banyak kesamaan, misalnya terbuka, egaliter, humoris, dan cenderung tanpa basa-basi.

Orang-orang Betawi pun banyak memakai idiom dalam bahasa pergaulan sehari-hari. karena bahasa Betawi sangat dekat dengan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, banyak idiom-idiom Betawi yang kemudian diserap dan menjadi idiom bahasa Indonesia.

Idiom tidak bisa dipahami secara harfiah karena ada ekspresi tertentu yang tersirat di dalamnya. Dalam berbagai obrolan, para penutur memakai idiom untuk berbasa-basi yang juga dipakai untuk bercanda, tanpa maksud merendahkan atau menghina.

Dengan memakai idiom, komunikasi akan terasa makin bernuansa. Maksud-maksud tertentu sering lebih bisa dipahami dengan menggunakan idiom. Terkadang idiom terdengar berlebihan, terkadang terdengar sebagai eufimisme atau pengaburan makna.

Untuk menggambarkan sesuatu yang mustahil terjadi, orang Surabaya memakai idiom ‘’ngenteni linggis kambang’’ atau menunggu linggis mengambang. Tentu saja mustahil linggis bisa mengambang.

Orang Betawi memakai idiom ‘’menungu lebaran monyet’’ untuk mengekspresikan hal yang sama.

Idiom ‘’lebaran monyet’’ menjadi ekspresi yang biasa dipakai di kalangan masyarakat Betawi. Tidak ada yang merasa tersinggung atau merasa dilecehkan oleh idiom itu.

Idiom jin buang anak seharusnya dikembalikan kepada masyarakat yang paling berhak, yang sudah menjadikannya sebagai habitus.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News