Perempuan Harus Berani

Perempuan Harus Berani
Siti Nurbaya bersama dua cucunya, Azsyifa Nuraya dan Zaira Addeva, di rumah dinasnya, Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (20/4). Foto: Ricardo/JPNN

Bagaimana sosok Kartini menurut Ibu?

Kalau kita lihat kan, sosok Raden Ajeng Kartini sebetulnya sosok perlawanan dalam kepatuhan. Berarti  punya prinsip di dalamnya. Patuh itu termasuk prinsip. Kepatuhan itu ada hal-hal prinsip lain yang melekat dalam diri beliau, bahwa ada "pemberontakan", itu untuk mengaktualisasikan hak-hak sebagai manusia, perempuan yang harus dididik. Di situ juga soal keberagaman hak bahwa saya kan sama seperti kakak saya yang laki-laki dan saya harus berpendidikan.  Satu lagi ada prinsip futuristik tentang masa depan bagi bangsanya, orang-orang perempuan lainnya di masa yang akan datang dan tentu saja di saat itu. Jadi kalau kita lihat sosok Raden Ajeng Kartini menurut sejarah, banyak dimensi-dimensi yang bisa kita lihat. Dimensi kepeduliannnya, dimensi kedisiplinannya dan dimensi hak asasinya juga. Itulah sebenarnya yang dinamakan professional. Profesional dan komitmen terhadap prinsip yang terukur untuk memperjuangkan perempuan Indonesia. Jadi perempuan harus berani. Berani aktualisasikan diri.

Apa Ibu merasa sudah mewakili impian Kartini?

Saya hampir tidak pernah memikirkan bahwa saya sudah bagus atau hebat. Buat saya yang paling penting adalah kita bekerja dengan baik dan hasilnya dinilai orang lain. Karena saya birokrat jadi saya jadi terbiasa bahwa pekerjaan saya dinilai atasan. Tentu saja dinilai juga oleh masyarakat. Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri.

Ibu lama bekerja sebagai birokrat, sekarang sebagai menteri, politikus Nasdem. Apa yang Ibu rasakan?

Dalam bekerja di birokrasi kami memang punya hal-hal yang terukur. Jadi standarnya seperti apa, prosedur pemerintahannya seperti apa, jangan lupa friendshipnya juga ada. Birokrat kan harus berprestasi juga. Di birokrasi ada aturan main soal powership, kapan harus benar-benar kokoh dalam  mengambil posisi. Itu sepanjang waktu diajarkan.  Saya merasa terus terang begitu bebas bekerja sebagai katakanlah pekerja yang selama ini banyak untuk pemerintahan dan sebagian juga di partai dan masyarakat. Saya merasa saya memang harus melakukan itu. Saya merasa bebas. Tidak terhambat apa-apa. Saya juga merasa selama ini saya merasa tidak perlu kalau mau sesuatu harus pakai merayu, harus membujuk. Saya tidak pernah lakukan itu. Jadi saya merasa kondisi sekarang, cita-cita Kartini itu sebenarnya sudah ada.  Sudah sangat terbuka.  Tapi jangan lupa, kita juga masih punya beberapa keragaman budaya dan adat yang masih sangat hati-hati dalam hal mengelola kaum perempuannya. Ini jadi tantangan juga sebetulnya.

Perbandingan-perbandingan yang saya lakukan waktu saya masih di Eropa tahun 1985-1988, di kampus tempat saya belajar, dosen perempuannya enggak banyak. Malahan di Indonesia, waktu itu saya kuliah di Universitas Lampung, malahan dosen perempuannya lebih banyak. Menurut saya Indonesia mengalami banyak kemajuan. Tahun 1988 saya lihat seperti itu, apalagi sekarang ya setelah undang-undang parpol, undang-undang pemilu hingga banyaknya aktivis perempuan saat ini. Jadi saya kira banyak hal yang sudah sangat maju.

Saya lihat semangat Kartini ini harusnya dari pendidikan dasar anak-anak. Putri-putri sudah harus diajarkan untuk berani. Sebab antara aktualitas dan kapasitas harus jalan seiring. Kapasitas ada tapi keberanian untuk aktualisasinya tidak ada itu susah juga.

"TAHUKAH engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News