Perempuan Harus Berani

Perempuan Harus Berani
Siti Nurbaya bersama dua cucunya, Azsyifa Nuraya dan Zaira Addeva, di rumah dinasnya, Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (20/4). Foto: Ricardo/JPNN

Bagaimana membagi waktu dengan keluarga? Apa keluarga tidak protes?

Pertanyaan itu sudah muncul sejak saya jadi ketua organisasi pemuda di provinsi. Salah satu pertanyaannya, bagaimana membagi waktu nanti. Lalu saya menjawab, apa pertanyaan  ini juga ditanyakan ke calon ketua laki-laki apa enggak. Seharusnya tidak ada perbedaan ketika saya perempuan yang maju mencalonkan diri.

Jadi sebetulnya, jawaban klasiknya “oke saya akan atur waktu” tapi memang faktanya seperti itu, harus mengatur waktu. Terutama untuk anak-anak. Saya sebetulnya coba mengimbangi. Betul memang waktu saya untuk ketemu anak-anak saya sangat sedikit.  Tapi harus berkualitas. Saya kira yang sampai saya setua ini, katakan sekarang umur saya di atas 50, saya lihat bahwa yang paling penting adalah diri kita sendiri. Kita harus memiliki titik-titik koordinasi. Jadi perasaan kita sendiri kita kontrol. Saya kadang di kementerian hampir tiga minggu tidak punya weekend ya. Sabtu Minggu kadang punya tugas. Saat-saat seperti itu saya merenung di pesawat atau di mobil, dalam periode ini saya ketinggalan komunikasi dengan anak saya yang mana. Anak saya yang mana yang belum berkomunikasi dengan saya. Jadi saya evaluasi diri saya berapa lama tidak berinteraksi dengan anak saya.  Saya kan punya dua anak. Atau saya evaluasi, saya ini belakangan engak intens ngobrol dengan suami saya, intens ngobrolnya. Kalau waktu memang sedikit dari dulu.

Sikap anak-anak seperti apa?

Kalau protes itu, sejak anak-anak saya masih kecil. Dulu saat anak perempuan saya umur sembilan tahun dia menaruh tulisan protes di meja kerja saya. Dia menulis  ‘hari Minggu saya enggak ketemu mama,hari Senin enggak ketemu mama lagi.  Selasa juga enggak ketemu.” Itu ditulis tangan sama anak saya dan ditaruh di meja saya.  Kadang-kadang dia bertanya ‘mama emang kalau kerja di kantor enggak ada hari libur ya pegawainya’ suka gitu tanyanya. Akhirnya itulah yang menuntun saya selama ini jadi menteri,  setiap kali saya kerja saya ingat-ingat lagi saya belum komunikasi dengan anak saya yang mana. Dalam rumah tangga harus koordinasi biar tidak ada yang tercecer. Saya selalu ingat-ingat yang ketinggalan siapa. Biar tidak ada protes dari anak-anak.

Masih punya waktu memasak untuk keluarga?

Di waktu yang lalu sebenarnya saya masih punya waktu memasak. Waktu anak pertama saya lahir saya masih punya waktu bisa sediakan makan.  Keluarga saya paling senang dimasakin semur enggak pakai kuah. Anak kedua suka, ikan baronang bakar.

Dulu, masak dan jahit baju saya masih bisa. Tapi setelah punya anak dua, saya enggak ada waktu lagi jahit baju.  Tapi saya masak. Sambil kerja, saya masih bisa masak. Bangun pagi-pagi dulu. Sampai suatu ketika, saya mulai sangat sibuk di tahun 1983, waktu saya di Bappeda,  sebagai perencana jadi memang sibuk banget. Sampai saya sekolah ke luar negeri. Ke Belanda, kalau anak saya kangen, kami kirim-kiriman kaset isi rekaman suara. Dua hari sekali, hanya untuk tanya 'mama apa kabar'. Dulu kan teknologinya belum canggih.

"TAHUKAH engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News