Politisasi Birokrasi Dalam Pemilu

Politisasi Birokrasi Dalam Pemilu
Anggota Bawaslu DKI Jakarta Benny Sabdo. Foto: Dokumentasi pribadi

Peraturan perundang-undangan mengatur secara jelas mengenai larangan ASN dan batasan netralitas yang memiliki konsekuensi pelanggaran netralitas.

Akan tetapi, selain tindakan-tindakan yang dianggap melanggar netralitas dan berdampak adanya rekomendasi Bawaslu terhadap pelanggaran netralitas. Undang-undang pemilu juga mengatur mengenai tindakan ASN yang tidak saja sekadar melanggar prinsip netralitas, tetapi juga masuk ranah tindak pidana pemilu.

Gagasan pengawasan terhadap netralitas ASN mestinya berangkat dan sejalan dengan ilmu manajemen birokrasi melalui pendekatan merit system, sehingga konsep pengembangan jenjang karir hanya bertumpu pada sumber daya manusia yang unggul sesuai dengan prestasi kerja.

Hal ini dapat membantu mereka memegang teguh prinsip profesionalitas dan netralitasnya. Pendekatan merit system ini dapat memperkecil ruang gerak keterlibatan mereka dalam pemilu.

Pada akhirnya, netralitas birokrasi dapat dimaknai sebagai sikap imparsialitas. Rumusan imparsialitas sebagai kesetaraan politik, yaitu perlakuan yang tidak memihak dalam melaksanakan wewenang publik berdasarkan undang-undang. Selain itu, semangat meritokrasi mesti menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan publik, tidak atas dasar pertimbangan preferensi pribadi, tetapi mengacu pada prestasi kerja.

Dengan demikian, imparsialitas menjadi nilai fundamental yang harus dijadikan sabuk pengaman oleh birokrat dalam perebutan kekuasaan pemilu.(***)

Bawaslu merilis Indeks Kerawanan Pemilu tentang netralitas ASN. Menurut data Bawaslu, Pemilu 2019 terdapat 999 penangangan pelanggaran terkait netralitas ASN.


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News