Sulit Ajak Dokter Sosialisaskan Jamu
Sabtu, 04 September 2010 – 07:16 WIB
Tidak tangung-tanggung, kata Agus, tahun depan Kemenkes akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 100 miliar dari APBN 2011. Sementara tahun ini anggaran untuk peningkatan jamu hanya diberikan Rp 5 miliar. "Tahun depan memang kami usulkan agar lebih banyak dilakukan penelitian dan sosialisasi," tambahnya.
Agus mengaku, lambatnya realisasi penggunaan jamu sebagai obat tradisional itu juga akibat belum adanya standarisasi penyediaan bahan baku. Misalnya untuk penanaman, pemanenan, dan pengelolaan pascapanen dari tanaman obat. "Kami juga belum memiliki metodologi riset obat tradisional," ucapnya.
Pengobatan tradisional jamu baru dilakukan pada 12 RS di Indonesia. Diantaranya RS Persahabatan Jakarta, RS Dharmais Jakarta, RS dr. Soetomo Surabaya, RS Sanglah Bali, dan RS Sardjito Yogyakarta. Dari 110 jenis tanaman obat yang digunakan untuk penelitian, lima diantaranya baru dibuat secara resmi dalam bentu fitofarmaka atau bentuk obat tradisional dari bahan alami yang sudah beredar resmi di masyarakat. "Juga sudah bisa dikonsumsi dalam bentuk obat. Tapi bentuk jamu belum ada yang dijual resmi," tambah Agus.
Kata dia, lebih dari sepuluh macam jamu saat ini sedang dalam proses registrasi di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). JIka proses tersebut selesai dipastikan jamu-jamu itu sudah bisa dikonsumsi masyarakat luas.
JAKARTA - Kementerian Kesehatan (kemenkes) tidak serius merealisasikan pengobatan tradisional dengan menggunakan jamu. Meski sudah tujuh tahun program
BERITA TERKAIT
- Partisipasi Festival Islam Kepulauan di Belanda, Kemenag Ulas Peran Penghulu di Era Modern
- Atasi Berbagai Tantangan Isu-isu Keberlanjutan Fungsi Lingkungan, RPP jadi Terobosan & Inovasi KLHK
- Bertemu Kepala Eksekutif Makau, Menaker Ida Bahas Penguatan Kerja Sama Ketenagakerjaan
- KPK Perlu Dalami Peran Samsudin Abdul Kadir di Kasus Jual Beli Jabatan Pemprov Malut
- Ikut Lestarikan Budaya, PermataBank Dukung Perayaan Adeging Mangkunegaran-267
- Soroti Kasus Korupsi Timah, PB Mathla’ul Anwar: Terlalu Banyak Mudarat