Tentara Rakyat

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Tentara Rakyat
Ilustrasi tentara. Foto: dok/JPNN.com

Dalam banyak kasus lain tanah digusur begitu saja. Rakyat diusir begitu saja, meskipun ia sudah menempati tanah itu berpuluh tahun secara turun-temurun.

Tiba-tiba saja ada perusahaan real estat yang sudah punya selembar surat sertifikat, dan dengan serta merta rakyat diminta segera meninggalkan tanahnya.

Kalau rakyat paham hak-haknya, seperti kasus Rocky Gerung, dia bisa melawan. Namun, kalau rakyat buta huruf seperti Ari Tahiru, maka ia akan pasrah saja, atau akan melawan tetapi sia-sia.

Orang boleh berdebat, Ari Tahiru buta huruf atau tidak, yang jelas dia buta akan hak hukum dan politiknya, karena sengaja dibutakan oleh kekuatan dan kepentingan besar.

Kekuasaan negara bisa membubarkan organisasi secara paksa tanpa pengadilan, karena dianggap menggangu kepentingan umum dan tidak sesuai dengan azas dan tujuan negara. Kepentingan-kepentingan anggota masyarakat disebut sebagai ‘’kepentingan kelompok’’ yang bersifat sektarian, sedangkan kepentingan negara selalu merupakan ‘’kepentingan umum’’ yang bersifat nasional.

Ketika negara membangun sirkuit megah di Mandalika, hal itu disebut untuk kepentingan umum yang bersifat nasional. Sirkuit itu harus selesai dibangun sesuai jadwal. Rakyat yang tanahnya digusur harus rela minggir, karena kalau tidak, dia akan dianggap menghalangi kepentingan umum.

Upaya rakyat untuk mempertahankan haknya bisa berujung di penjara, karena negara punya kekuasaan mutlak untuk memenjarakan siapa saja yang dianggap menghalang-halangi kepentingan negara.

Bukan hanya memenjarakan rakyatnya, bahkan negara punya kekuasaan untuk mencabut nyawa rakyatnya melalui penerapan hukuman mati.

Agus mengatakan bahwa mereka yang percaya bahwa tentara milik rakyat adalah salah kaprah dan keblinger.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News