Tentara Rakyat

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Tentara Rakyat
Ilustrasi tentara. Foto: dok/JPNN.com

Kita sangat sering mendengar presiden mengatakan bahwa dirinya bekerja untuk kepentingan rakyat. Ia bertugas untuk menyejahterakan rakyat. Presiden melindungi kepentingan rakyat dan menjaga keselamatan rakyat. Kepentingan rakyat ini disebut sebagai kepentingan umum atau kepentingan publik.

Ada anggapan yang beredar luas bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi kepada kepentingan umum.

Dalam berbagai pidato, para pejabat mengumbar jargon-jargon itu untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah abdi rakyat, pelayan rakyat.

Sebagian ada yang mengungkapkan hal itu secara tulus. Namun, lebih banyak lagi yang mengungkapkannya sekadar retorika dan lips service. Hal itu wajar saja dilakukan supaya rakyat merasa nyaman untuk diperintah.

Kalau rakyat percaya bahwa negara netral dan memperjuangkan kepentingan umum, maka rakyat akan taat diperintah. Sebaliknya, kalau rakyat tidak percaya bahwa negara netral, atau negara hanya melayani kepentingan golongan tertentu saja, maka rakyat akan menolak taat, dan negara pun kehilangan legitimasinya.

Karena itulah, istilah-istilah jargonis seperti ‘’demi kepentingan umum’’, ‘’pembangunan untuk seluruh masyarakat’’, ‘’negara tidak mungkin mencelakakan warganya’’, serta banyak ungkapan lain yang senada, selalu dikumandangkan para petinggi negara dalam berbagai kesempatan.

Rakyat harus pindah dari tanahnya demi kepentingan umum, atau demi kesejahteraan umum. Rakyat terpaksa dan dipaksa pindah, meskipun kompensasi untuk mengganti tanahnya tidak sepadan.

Dalam banyak kasus malah bukan ganti untung yang didapat, tetapi ganti rugi. Tanah atau rumahnya diganti, tetapi rakyat rugi karena nilainya jauh lebih rendah dari yang seharusnya.

Agus mengatakan bahwa mereka yang percaya bahwa tentara milik rakyat adalah salah kaprah dan keblinger.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News