Bohong

Bohong
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Karena itu masyarakat awam semacam ini suka mendengar kebohongan, bahkan ketika mereka tahu bahwa mereka dibohongi.

Kalau zaman sekarang disebut sebagai post-truth apakah sebelumnya kita hidup di zaman ‘’truth’’, zaman yang penuh dengan kebenaran?

Ternyata tidak juga. Zaman sebelum post-truth juga penuh dengan kebohongan, tetapi kebohongan itu tetap menjadi kebohongan. Beda dengan era post-truth ketika kebohongan bukan lagi sebuah kebohongan.

Oxford Dictionaries, salah satu kamus online terkemuka di dunia yang dibuat oleh Universitas Oxford, telah memilih 'post-truth' sebagai 'Word of the Year' atau 'Istilah Tahun Ini' pada 2016.

Menurut Oxford Dictionaries, post-truth diartikan sebagai ‘’istilah yang mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang objektif.

Sentimen politik sejak 2016 mengarah kepada anggapan bahwa fakta-fakta objektif tidak penting. Misalnya, dalam kasus pemilu Amerika Serikat, banyak sekali masyarakat yang merasa berbagai kebohongan-kebohongan dan sikap rasis Donald Trump tidak lagi dianggap sebagai persoalan.

Mereka tetap menilai Trump adalah kandidat presiden terbaik. Trump bisa melenggang ke Gedung Putih karena mampu mengeksploitasi rasa takut penduduk Amerika Serikat, bahkan dengan menggunakan sejumlah kebohongan.

Post truth dipengaruhi oleh cara kebanyakan orang masa kini mendapatkan informasi. Mereka memilih menjadikan media sosial sebagai sumber berita.

Dalam catatan Tom Phillpis banyak tokoh-tokoh besar dunia yang menjadi terkenal justru karena bohong.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News