Pemilu 2024: Kemunduran Demokrasi dan Ancaman Masa Depan Agenda Kerakyatan

Pemilu 2024: Kemunduran Demokrasi dan Ancaman Masa Depan Agenda Kerakyatan
Ilustrasi pemilu. Foto: Ricardo/JPNN.com

"Konsolidasi ini telah membentuk pemilu yang dipenuhi oleh kecurangan, berbagai institusi resmi demokrasi, seperti partai politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu, serta Mahkamah Konstitusi telah dilumpuhkan dan dikendalikan oleh elite politik yang terhubung kepada jejaring oligarki. Tujuannya jelas, melanjutkan kekuasaan untuk menguasai sumber-sumber agraria," ujar dia.

Selama sembilan tahun terakhir (2015-2023), KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria seluas 6,3 juta hektar yang berdampak pada 1,7 juta rumah tangga petani, buruh tani, nelayan dan masyarakat adat.

Dalam kurun waktu yang sama, 2.442 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 tertembak dan 72 tewas di wilayah konflik agraria. Situasi ini jauh lebih buruk dibanding satu dekade sebelumnya.

"Pada masa pemerintahan SBY, terdapat 1.520 letusan konflik agraria dengan luas 5,7 juta hektare dan korban dan terdampak sebanyak 900 ribu rumah tangga petani. Terdapat 1.354 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 553 orang mengalami kekerasan, 110 orang tertembak dan 70 orang tewas," kata Sekjen KPA Dewi Kartika dalam .

Sementara dalam kurun waktu 2014-2023, WALHI mencatat 827 pejuang lingkungan mengalami peristiwa kriminalisasi, intimidasi dan bahkan kekerasan yang mengakibatkan kematian akibat konflik sumber daya alam yang terjadi.

Dari Jumlah tersebut tercatat 6 orang meninggal dunia, 145 orang ditangkap dan 28 diantaranya ditetapkan menjadi tersangka, sementara 620 orang pejuang lingkungan lainnya mengalami peristiwa kekerasan yang mengakibatkan luka-luka.

Jumlah tertinggi tercatat pada tahun 2022 dimana 253 orang pejuang lingkungan di Indonesia mengalami peristiwa kriminalisasi dan kekerasan. 

"Hadirnya ribuan konflik agraria dan kriminalisasi menandakan bahwa pemerintah enggan menyelesaikan konflik secara berkeadilan dalam kerangka reforma agraria. Tanah tidak diprioritaskan untuk rakyat, melainkan kepentingan investasi dan pembangunan yang berpihak pada badan usaha skala besar. Kini semua itu difasilitasi oleh berbagai politik kebijakan pemerintah," kata Direktur Eksekutif WALHI Zenzi Suhadi.

Hal itu disampaikan AMAN-KPA-WALHI dalam pernyataan politik bersama di Jakarta, Senin (18/3)

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News