Permainan Marketing Politik Mengaburkan Makna Demokrasi dan Objektivitas Masyarakat

Permainan Marketing Politik Mengaburkan Makna Demokrasi dan Objektivitas Masyarakat
Diskusi bertajuk Problematika dan Kontekstualisasi Demokrasi Indonesia Terkini yang digelar pengurus Sylva Indonesia cabang IPB. Foto: dok Sylva Indonesia

Sarah bisa menyelesaikan dua periode pemerintahan sebagai kepala daerah sebelum maju ke pilpres. Sedangkan Bongbong tak pernah terlibat dalam dugaan pelanggaran HAM semasa Ferdinand Marcos.

Menurut Meilanie, marketing politik di Indonesia lebih hebat. Sebab, mampu mengemas kandidat yang punya catatan negatif dikemas menjadi positif melalui gimik.

“Ini berarti Indonesia lebih hebat dari sisi marketing politik, karena bisa memasarkan produk yang sebenarnya lebih jelek daripada itu dan sekarang memimpin elektabilitas berdasar hasil berbagai lembaga survei. Ini kekhawatiran kita, paslon terburuk justru leading,” ujarnya.

Menurut Meilanie, hal itu bisa dihindari. Jika, pemerintah membentuk pengadilan HAM terkait kasus masa lalu.

Sementara, aktivis Jaga Gerakan Pemilu Airlangga Pribadi menyinggung beberapa hal dalam Debat Pertama Pilpres 2024.

Pertama, soal politisasi pelanggaran HAM yang disinggung capres Ganjar Pranowo.

“Saya terkejut saat debat tadi malam, ada pertanyaan soal kasus penghilangan aktivis. Ini disebut kejahatan yang dianggap hal lumrah. Kelumrahan itu menjadi virus menyebar kemana-mana. Orang bicara banyak keluarga yang anak, bapak, saudaranya tidak kembali, malah dianggap politisasi,” urai Airlangga.

Dia juga mempersoalkan pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang disinggung capres Anies Baswedan. Menurut dia, persoalan itu tak bisa dianggap enteng.

Politik bucin terus terjadi setelah pesta demokrasi selesai bahkan berlanjut dalam kehidupan sehari-hari.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News